Sebuah Cerita : Lelaki Dengan Senyuman Dan Tawa Gigi Kuning

Disajikan oleh Erwin Jahja

Sebelum adzan subuh berkuumandang menghiasi fajar pagi, perempuan itu setia berjalan tiga kilometer menggendong bakul jamu. Selalu rutinitas itu dilakukan nya setiap hari, selalu dengan peluh dikeningnya, hampir empat tahun ini. Di pagi buta dingin, telah bercucuran keringat dengan botol-botol jamu yang diraciknya malam tadi. Berharap hari ini jamu racikannya akan diminum orang-orang, membuat sipeminum menjadi segar olehnya. Entah itu karena jamunya memang manjur atau karena sugesti orang – orang.

Tidak seperti pedagang jamu gendong lainnya, yang selalu berkeliling menjajakan dagangannya. Perempuan itu menjajakan dagangannya tetap di depan emperan ruko kelontong milik seorang pedagang Tionghua. Empat tahun ini dia selalu disana, setia melayani pelanggannya yang kebanyakan penarik becak dan kuli pasar. Empat tahun ini ia selalu tersenyum pada pelanggannya yang kadang-kadang salah menafsirkan senyuman dan keramahannya. Empat tahun ini pula dia harus sabar menghadapi godaan – godaan nakal penarik becak dan kuli pasar. Selama itu pula tak pernah di hiraukannya, ini resiko, pikirnya.

Tapi tidak untuk laki – laki itu, yang selalu membuat gemetar saat meracik jamu pesanannya. Lelaki yang tak pernah berkedip menatapnya, yang memandang kagum hitam rambutnya, yang kadang mencuri pandang kebelahan kebaya di dadanya. Lelaki legam dan kekar itu seorang supir angkutan, baru beberapa hari ini menjadi langganan jamunya.

Selalu lelaki itu minta di buatkan jamu dengan tambahan perasan jeruk nipis yang banyak, entah apa maksudnya. Selalu setiap hari seperti itu, dan selalu dia gemetar meraciknya. Laki – laki itu membuatnya terhanyut khayalan.

Pagi ini lelaki itu tak datang seperti biasanya, ada perasaan merindu ingin mencium aroma keringatnya, melihat tatapan matanya yang menusuk. Ada rasa hilang, berharap lelaki itu datang dengan senyuman dan tawa gigi kuningnya. Kemana lelaki itu, dia bertanya membatin. Datanglah, walau hanya selintas lalu pergi lagi. Kenapa perasaan ini begitu asing pikirnya. Lelaki itu seakan membawa pergi sesuatu yang dia sendiri tak tahu apa itu. Belum pernah ia merasakan desiran aneh di pembuluh nadinya, degub jantung yang seperti ini.

Sampai tengah hari lelaki itu tidak juga datang. Botol – botol jamunya telah kosong, tapi dia enggan untuk beranjak pulang. Masih berharap laki – laki itu datang membawa senyuman dan tawa gigi kuningnya. Apa mungkin kemarin itu terakhir kalinya melihat senyuman dan tawa gigi kuningnya, pikir perempuan itu. Kemana dia. Mungkinkah dia sakit, ditilang Polisi atau ya Tuhan, jangan sampai hal – hal buruk terjadi padanya, pikirnya lagi. Ah, masih ada esok hari.

Masih seperti hari sebelumnya, berjalan tiga kilometer menggendong bakul jamu dengan peluh menetes dikening. Tapi pagi ini dia membawa serta perasaan rindu, harap dan cemas. Semoga lelaki itu datang padanya, walau selintas lalu pergi lagi, tak apalah. Meski ia mengharapkan lebih dari itu.

Lamunannya buyar oleh teriakan pedagang menjajakan dagangannya. Baru dua gelas jamu yang diraciknya, orang – orang seperti tahu suasana hatinya. Ia tak peduli, hanya terlintas bayangan lelaki itu di benaknya. Senyuman dan tawa gigi kuningnya. Kapan lelaki itu datang, matahari mulai tinggi. Nanti kalau dia datang, ingin bertanya kemana dan kenapa kemarin tak datang. Tapi, apa sanggup untuk lakukan hal itu, memikirkan saja sudah membuat deras aliran darahnya.

Sengatan matahari pagi memantulkan kilap keringat dikulit coklatnya. Pelanggan setia mulai berdatangan, entah itu tukang becak, kuli pasar atau pembantu rumah tangga. Mulai sibuk ia melayani, semangat. Berharap sebentar lagi laki – laki legam dengan senyuman dan tawa gigi kuningnya datang menghampiri dan memesan jamu dengan perasan jeruk nipis yang banyak.

Satu persatu pelanggan beranjak pergi. Kembali ia terhanyut khayalan lelaki itu. Membuainya, menghanyutkan perasaan nyaman dalam asa pada lelaki dengan senyuman dan tawa gigi kuning itu. Menghitung detak – detak jantungnya seolah berpacu dengan waktu saat tiba lelaki itu nanti.

Tapi apa yang akan dilakukannya bila lelaki itu datang.
Tapi apa pantas seorang perempuan seperti dirinya mampu bertanya kenapa tak datang padanya kemarin. Bolehkah…?

Tapi….

Ada rasa lain yang menggantung di sisi hati nya….
Pantaskah perempuan memikirkan lelaki lain selain suaminya. Dia tak bisa menjawab pertanyaan dari hatinya sendiri. Mungkin ia tak ingin menjawab pertanyaan itu. Rasa yang datang ini tak pernah ia dapatkan dari siapa pun, suaminya sekalipun. Salahkah bila menikmati rasa ini. Masih dalam lamunannya, ingin rasanya menyimpan jauh dalam hati bayangan laki – laki itu. Tapi selalu, dan selalu datang lagi.

Pantaskah perempuan merindukan lelaki lain selain suaminya. Pantaskah ia mengkhianati suami yang tidak di cintainya. Pantaskah mengkhianati suami pilihan orang tuanya. Suami yang empat tahun ini setiap malam setia membantu meracik jamu – jamunya. Suami yang selalu memberi cinta tanpa meminta balasan. Suami yang telah memberinya seorang putri yang jelita. Ia tak ingin menjawabnya. Oh Tuhan, kenapa rasa ini tidak datang pada sang suami. Kenapa harus pada laki – laki dengan senyum dan tawa gigi kuning itu. Pikiran itu serta merta menyergap rongga dadanya.

Bogor 12 desember 04

This entry was posted on Minggu, Januari 25, 2009 and is filed under .