Living Memories Egalitarian Tribe

Disajikan oleh Erwin Jahja

Rata Penuh
Terimakasih saya haturkan kepada situs Minangkabau Online yang telah berkenan mempublikasikan dan mengalihbahasakan tulisan saya ini; Berpikir Minang Untuk Indonesia.

In the Minangkabau ethnic group (Minang) in West Sumatra, Indonesia has long been an egalitarian political unity, promote discussion and generalization power. Equity is evident in the system of government Kanagarian; each village leader has a right of autonomy to manage their area. Nagari is a union territory, customs and politics in Minangkabau. In the village government, village leaders do not stand alone in making decisions. Decisions taken with a collective leadership "Tigo Tungku Sajarangan" (in which scholars include / merchants, clerics and traditional leaders / government). So that political decisions are taken more mature because through consultation between the political and community leaders.

“In The Name Of Honor”

Disajikan oleh Erwin Jahja




Tak akan ada kata lain selain “Biadab” yang akan meluncur dari tenggorokan anda ketika pertama kali membaca buku true story berjudul “In The Name Of Honor”. Itu juga yang meluncur dari mulutku meski sudah beberapa kali mengulang membaca kisah seorang perempuan bernama Mukhtar Mai ini. Kemarin sore ketika aku membuka lemari buku, kembali aku menemukan buku ini, dan kembali kata “Biadab” itu meluncur dari mulutku.

Buku ini pertama kali diterbitkan tahun 2006 di Paris, berbahasa Perancis, Marie Thérèse Cuny yang menuliskan kisah ini.

Sebuah Cerita : Namaku Sengkala

Disajikan oleh Erwin Jahja



Namaku Sengkala……

Orang-orang selalu memanggilku begitu, entah dari mana asal nama itu. Yang kutahu Bik Imah cuma memanggilku Cah Bagus. Iya, Bik Imah satu – satunya orang yang sangat kuhormati melebihi bapakku yang entah siapa. Iya, Bik Imah wanita yang kujunjung tinggi melebihi ibu kandungku yang tega membuangku dalam kardus bekas berserta ari-ariku. Kata orang-orang Bik Imah yang menemukanku, membersihkanku dari darah dan ari-ariku. Bik Imah juga yang mengasuhku, membesarkanku dengan tangan keriputnya. Bik Imah yang selalu membelai kepalaku dan memanggilku Cah Bagus. Bik Imah yang selalu memandikanku dibelakang rumah panggung pinggir kali itu.
Cah Bagus……nama yang sangat indah dikupingku. Tapi itu dulu, dua puluh tahun yang lalu. Dua puluh tahun aku tak pernah mendengar nama itu mampir ke kupingku.
Sekarang namaku Sengkala, begitu semua orang memanggilku.

Sebuah Cerita : N O N I

Disajikan oleh Erwin Jahja



Pukul 7 malam aku sudah berada di stasiun Gambir,menunggu keberangkatan kereta api Senja Utama jurusan Jogja. Padahal kereta berangkat masih satu jam lagi. Aku sengaja mengambil cuti tiga hari, untuk melepas penat dan bosanku mengerjakan rutinitas. Untunglah saat ini bukan musim liburan, yah jadi tak begitu ramai.

“Hmm, apa ya kata Warsito nanti kalo aku sampai disana,“pikirku.

Aku memang sengaja tak memberi tahu karibku itu, biar dia sedikit kaget. Sudah satu tahun lebih aku tak ke Jogja. Kulangkahkan kaki ku menuju peron, tempat duduk tunggu itu penuh semua.

Kisah Negeri Banci

Disajikan oleh Erwin Jahja

Ini cerita tentang negri para banci bernama Indonesia. Di negri ini, tidak pernah jelas tentang laki-laki dan perempuan, tidak pernah jelas tentang kanan dan kiri, juga tidak jelas tentang benar dan salah. Di negri ini para banci berkuasa, bermunculan di televisi.

Ayo kita bahas.

Lihatlah betapa tidak jelasnya status kelamin seorang presenter musik ketika dengan raga laki-laki yang kokoh memakai pita bunga di kepala, baju hamil dan celana leging (aku gak tau bahasa bakunya apa) menggoda vokalis laki-laki band karbitan. Ini baru satu contoh manusia tak jelas di dunia hedonis entertainment, katanya itu fashionable, padahal wujudnya lebih mirip alien entah dari planet mana. Dan itu digemari masyarakat kita.

Sebuah Cerita : Surat Tuan Presiden

Disajikan oleh Erwin Jahja



Surat-surat ini begitu banyak di meja kerjaku yang sebenarnya tidak ingin kubaca. Awalnya aku sangat antusias membaca surat-surat itu dan kalau bisa ingin kubalas sendiri dengan tulisan tanganku, tapi mungkin itu akan sedikit mengurangi wibawaku. Dari pertama kali hingga hari ini surat-surat ini hanya berisi puja-puji dan sanjungan setinggi langit tentang aku. Tidak sekalipun aku menerima tulisan tentang keluhan, kemarahan, kebencian dan segala macam sumpah serapah tentang diriku, terkadang itu sungguh membosankan.