Sebuah Cerita : N O N I

Disajikan oleh Erwin Jahja



Pukul 7 malam aku sudah berada di stasiun Gambir,menunggu keberangkatan kereta api Senja Utama jurusan Jogja. Padahal kereta berangkat masih satu jam lagi. Aku sengaja mengambil cuti tiga hari, untuk melepas penat dan bosanku mengerjakan rutinitas. Untunglah saat ini bukan musim liburan, yah jadi tak begitu ramai.

“Hmm, apa ya kata Warsito nanti kalo aku sampai disana,“pikirku.

Aku memang sengaja tak memberi tahu karibku itu, biar dia sedikit kaget. Sudah satu tahun lebih aku tak ke Jogja. Kulangkahkan kaki ku menuju peron, tempat duduk tunggu itu penuh semua. Mungkin karena petang ini jam sibuk dan kurasa orang-orang itu sedang menunggu kereta express ke Bogor atau Bekasi. Sengaja aku duduk di tangga peron, membakar rokokku dan baru kusadari saat ini kalau Jakarta ini benar-benar sumpek. Disampingku sepasang muda-mudi duduk berdua bermesraan, ahh aku merasa iri atau aku cuma merindukan saat-saat seperti itu, entahlah.

Bunyi peluit kereta membuyarkan lamunanku, terdengar suara petugas berteriak dari pengeras suara memanggil calon penumpang kereta Senja Utama. Kuangkat pantatku malas. “Uh, aku beli rokok dan minuman dulu sebaiknya, “ pikirku.

Aku duduk dibarisan belakang, kulihat bangku-bangku yang lain masih banyak yang kosong. Dua muda-mudi yang tadi kulihat, duduk dua baris di samping depanku. Kurasa mereka juga satu tujuan denganku. Kereta mulai berjalan saat aku lepas pandanganku keluar jendela. Kubakar lagi rokokku dan aku mulai berkhayal lagi tentang Jogja.

Tak lama kereta berhenti lagi di stasiun jatinegara, mengangkut penumpang yang berangkat dari stasiun ini. Kereta mulai berangkat lagi dan aku dikejutkan suara merdu disampingku. “Mas, boleh aku duduk di sudut situ, itu nomer tempat duduk ku.“ Sesosok gadis manis tiba-tiba telah berdiri di sampingku. “Oh, ya silakan,“ sahutku singkat. Kulirik bangku didepanku, masih kosong. Tapi aku malas untuk pindah, apalagi disampingku sekarang duduk gadis manis. Yah, pikiran lelaki.

Sedari tadi ia terus menatap keluar jendela, yang kulihat hanya rambut panjang ikalnya yang kemerahan. Tubuhnya berbalut jaket dan celana jeans ketat, ditambah sepatu kets memberi kesan ia gadis yang sedikit tomboi, mungkin. Sekarang aku jadi sibuk sendiri memikirkan cara untuk memulai pembicaraan atau sekedar berkenalan. “Daripada cuma ngelamun sampai Jogja,” pikirku.

Petugas kereta menjajakan minuman dari restorasi gerbong depan. Kupesan segelas kopi, dan kucoba tawarkan kepadanya. Dan, wah dia tak menolak tawaranku, tapi masih dalam diam. Kubakar lagi rokokku menghirupnya dalam-dalam.

“Ayo diminum mbak kopinya, mumpung masih hangat,“ kuberanikan membuka pembicaraan.
“Oh, ya makasih,“ sahutnya singkat.
“Mau ke Jogja ya?”
“Yup, kalau mas?”
“Sama, saya juga mau ke Jogja, mau refresing, Jakarta sumpek,” kataku menjelaskan tanpa diminta. “Mbak asli Jogja?”
“Iya, tapi aku kerja di Jakarta.”

Tak sengaja kutatap wajahnya, cantik, ada tahi lalat kecil di sudut kanan bibirnya. Oh Tuhan, mata itu, ya mata itu berwarna kecoklatan, mengingatkanku pada seseorang yang telah lama pergi menghadap Tuhan. Orang yang sangat kucintai, sayang Tuhan terlalu menyayanginya dan mengambilnya begitu cepat. Pembicaraan mulai akrab, yah mulai dari basa-basi pembuka perkenalan sampai aku tahu kalau dia bekerja disebuah LSM besar yang bergerak dibidang lingkungan hidup.

“Aduh, jarang-jarang loh gadis secantik mbak mau bekerja di LSM, pantesnya mbak itu jadi foto model atau bintang sinetron,” candaku.
“Ah, kamu ngenyek aku ya?” dengan logat jawa yang kental.
“Nggak koq, beneran deh.”
“Aku lebih suka berada di duniaku saat ini, aku merasa lebih survive, dan lagi apa cuma laki-laki yang bisa bekerja dilapangan?” sahutnya menjelaskan, dan aku pun terdiam.
“Kadang-kadang laki-laki hanya bisa melihat sesuatu dari fisik tanpa mempedulikan pemikiran perempuan yang kadang-kadang tak terpikirkan oleh mereka, benarkan?”
“Hebat, orang seperti anda saya rasa langka yah!”
“Bukannya langka, tapi banyak perempuan gak bisa ngungkapin apa yang dimau.”

Pembicaraan kami mengalir lagi, asyik sekali rasanya dapat teman bicara yang bisa nyambung seperti sekarang ini. “Eh, ngomong-ngomong pacarnya orang mana?” tanyaku. Dan, wajahnya berubah masam. “Ups, apa aku terlalu lancang ya.” Tapi tak lama dia tersenyum lagi. “Hhhh, laki-laki banyak yang gak sadar diri, sebenarnya aku males ngomongin ini,” sahutnya. Lantas dari ceritanya aku tahu tentang bapaknya yang sengaja meninggalkan ibunya dan lari ke perempuan lain, tentang ibunya yang mulai sakit-sakitan karena tak sanggup menanggung malu pada orang tuanya, yang melarang ibunya kawin dengan bapaknya, tentang kemandiriannya yang mulai bekerja saat bapaknya pergi ketika dia masih SMP. Juga tentang kebenciannya pada orang-orang yang meremehkan keluarganya.

“Semua laki-laki itu koq pemikirannya picik ya,” katanya.
“Tapi aku nggak koq,” sahutku dengan canda.
Hei, dia menangis, mata indah itu meneteskan air mata. Wajarlah, kupikir, setegar apapun perempuan pastilah tak kan bisa menahan air matanya. Memang itu sudah kodrat dari perempuan, perasaan.
“Ibuku mulai sakit-sakitan dan tak lama meninggal dunia karena tak tahan cemoohan dari kakek dan nenekku yang tak setuju ia menikah dengan bapak,” ulangnya mengenang ibundanya.
“Sabar dan berdoa, mungkin itu lebih baik kurasa,” saranku.

Dia tersenyum lagi, dan ku alihkan pembicaraan ke topik yang lain. Kuceritakan tentang hobbyku traveling, kuceritakan tentang hidupku, tentang keluargaku dan tentang sahabat-sahabatku yang aneh-aneh. Heran, kenapa tak ada jawaban, kulihat disampingku dia terlelap begitu pulas…hahaha, sedari tadi aku hanya mendongeng dong. Tapi tak apalah, yang penting ia dapat melupakan kesusahannya dengan tidurnya.

Kunyalakan lagi rokokku, entah sudah yang keberapa aku tak ingat lagi, kuhisap dalam-dalam dan kuhembuskan. Kutatap perempuan di sampingku, dia tertidur begitu anggun bak seorang putri, entah kenapa rasa itu datang, rasa yang telah lama kupendam dalam-dalam. Mungkin aku jatuh cinta, tapi secepat ini? Aku tak tau, kenapa? Biarlah kunikmati saja perasaan ini. Dan nanti sesampainya di Jogja kucoba tuk mengenalnya lebih dekat. Tak sadar aku tersenyum sendiri. Oh, rasa ini begitu indah. Dan tak lama aku pun terlelap.

Terjaga aku saat kereta membunyikan peluit panjang. Cepat-cepat kulihat perempuan tadi malam disampingku, dia kemana….tempat duduk disampingku kosong. Mungkin dia ke toilet pikirku, tapi lama kutunggu tak juga kembali. “Hm, atau dia turun di stasiun Wates tadi saat aku tidur, dan enggan membangunkanku,” pikirku. Biarlah nanti sekembalinya aku ke Jakarta akan kucoba menghubunginya, toh aku sudah mendapatkan alamat LSM tempatnya bekerja.

Kereta telah masuk stasiun Tugu Jogja. Kukemasi barang-barangku. Pagi di Jogja dingin juga ya. Sengaja aku jalan ke Malioboro dulu pagi ini, melihat pedagang emperan yang semakin marak saja. Tampak semakin tak asri lagi Malioboro ini. Setelah mengganjal perut dan puas menghirup udara pagi, kucari becak. Tak begitu jauh rumah Warsito dari Malioboro.

“Kampret, lu kemari gak kasih kabar dulu, kan bisa kujemput,” suara cempreng Warsito menyambutku di teras depan.
“Hahahaha, mandi dulu sana, bau lu,” sambarku.
“Kemana aja lu, gak pernah kirim-kirim kabar ke gue?’ katanya.
“Biasa,akukan orang sibuk sekarang.”
“Cerita dong!” lanjutnya.
“Iya, iya, mandi dulu gih!"

Sehabis mandi aku melepas rindu sama sobatku yang kurasa sedikit sableng ini. Warsito seorang seniman lukis yang lukisannya tak laku-laku dan masih berharap satu saat nanti bisa bikin pameran tunggal, dia juga aktifis disebuah LSM. Idealis tulen. Sambil minum kopi, kuceritakan pertemuan ku dengan perempuan di kereta tadi malam.

“Tumben lu mikirin cewek,” katanya.
“Tapi yang ini lain, To!”
Lantas kuceritakan semuanya, cirri-cirinya. Rambutnya yang kemerahan, tahi lalat disudut bibirnya, mata coklatnya. Dan kemandiriannya yang begitu tegar. Aku bercerita menggebu. Dan Warsito menyimak begitu khusyuk. “Aneh,” pikirku. Tumben anak ini tak mencela.

“Hei, kenapa bengong lu?” sambarku.
“Rasanya aku kenal sama perempuan itu,” katanya dengan mimik muka serius. Membuatku makin penasaran.
“Lantas?”
“Dari ciri-ciri yang kau sebutkan, kurasa dia teman di LSM ku, tapi dia di kantor pusat di Jakarta.”
“Terus kenapa?” tanyaku. “Jangan bikin aku penasaran, To!”
“Dia mati bunuh diri tepat seminggu yang lalu, melompat dari kereta api, katanya sih karena pacarnya tak mau tanggung jawab, dia hamil!”
“Ah, gak mungkin,”sergahku.
“Iya, aku juga berpikir tak mungkin perempuan setegar dia mau melakukan hal bodoh itu.”
“Bukan, maksudku tak mungkin yang kutemui perempuan temanmu itu.”
“Entahlah, tapi siapa nama perempuan dikereta itu?” Tanya Warsito.
“Noni, ya Noni, nama yang indah bukan,” kataku, masih tak percaya omongan Warsito.
“Hhhhh, memang itulah namanya Noni.”
Blank, rasanya bumi yang kupijak berputar. Jadi semalaman ini aku bicara dengan……….
Noni, kenapa……kenapa kau lakukan hal bodoh itu.
Kenapa juga kau ceritakan semua keluh kesahmu kepadaku?
*******
Sebelum kembali ke Jakarta ku sempatkan mampir ke kantor Warsito. Dan disana kudapati terpajang foto berpita hitam di meja depan.

Syok, kudapati wajah cantik dikereta itu terpampang disana, tersenyum manis padaku, dengan tahi lalat kecil di bibirnya. Seolah menyampaikan pesan……tak semua pikiran perempuan itu dapat dimengerti…

Jogja, 21 Desember 1999

This entry was posted on Senin, Maret 08, 2010 and is filed under .