Kisah Negeri Banci

Disajikan oleh Erwin Jahja

Ini cerita tentang negri para banci bernama Indonesia. Di negri ini, tidak pernah jelas tentang laki-laki dan perempuan, tidak pernah jelas tentang kanan dan kiri, juga tidak jelas tentang benar dan salah. Di negri ini para banci berkuasa, bermunculan di televisi.

Ayo kita bahas.

Lihatlah betapa tidak jelasnya status kelamin seorang presenter musik ketika dengan raga laki-laki yang kokoh memakai pita bunga di kepala, baju hamil dan celana leging (aku gak tau bahasa bakunya apa) menggoda vokalis laki-laki band karbitan. Ini baru satu contoh manusia tak jelas di dunia hedonis entertainment, katanya itu fashionable, padahal wujudnya lebih mirip alien entah dari planet mana. Dan itu digemari masyarakat kita.

Ketidakjelasan semakin dipatenkan dengan memasukan mereka sebagai ikon iklan, bintang sinetron, penyanyi tak mutu hingga kontestan-kontestan award dengan polling sms, dan biasanya menang. Menurutku itu aneh, entah bagaimana penilaian anda.

Seorang teman harus berlangganan TV kabel supaya anak-anaknya tidak menonton parade banci-banci di televisi itu. “Aku hanya takut dua hal terjadi pada anak-anakku, jadi banci dan pemakai narkoba” ujar temanku. “Aku takut televisi dengan banci-banci ini meracuni kepala anak-anakku, takut mereka berpikiran kalau ingin sukses dan terkenal, ya jadi banci.”

Dan aku yakin seratus persen orangtua setuju dengan pendapat temanku itu. Secara harfiah temanku ini benar, namun pemahaman banci kan bukan hanya sebatas ketidakjelasan seperti itu. Banyak lagi kisah banci yang gagah, perlente, jumawa tanpa lagak kemayu namun kelakuannya tidak jelas.

Masih ingat kita dulu tentang sebuah Tim yang katanya menculik aktifis, sebagian aktifis itu sampai sekarang tak jelas rimbanya, pertama kali terbongkar alasannya kesalahan prosedur komando, tak ada yang berani secara lantang mengaku bertanggungjawab ke muka publik. Itu contoh awal.

Lanjutannya, ketika kasus cicak dan buaya mencuat dan opini public terbentuk membela sang cicak, tak seorang pun yang maju ke depan, kalau pun setelah itu Presiden maju, itu sudah terlambat, opini sudah terbentuk. Kemudian tiba-tiba seorang perwira tinggi aktor utama kasus ini (tak perlu sebut nama ya, sudah pada tahu kan) berpindah posisi melawan buaya setelah dicopot dari jabatannya, akibatnya cerita semakin panjang dan melebar. Ketika si perwira secara langsung dan tersamar menyudutkan korpsnya sendiri tentu kita bertanya-tanya kenapa semua hal yang diucapkan sekarang tidak diungkap ketika masih menjabat. Menurutku itu sifat yang tidakjelas, banci.

Sikap banci bukan hanya dimonopoli oleh personal saja. Suatu ketika partai-partai bergabung mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden dalam satu paket koalisi. Mereka satu suara mendukung pasangan calon karena yakin sang calon pasti memenangi pemilihan. Mendukung berarti mendapat jatah kekuasaan dan kemudian terbukti.

Perlu dicatat, ketika itu partai Golkar mengusung calon sendiri, kalah. Tapi itu tak masalah, masih bisa dapat jatah kekuasaan dengan bergabung koalisi. Padahal seharusnya setelah berkompetisi pada pilpres, idealnya Golkar yang kalah mengambil sikap oposisi, bukan koalisi. Demi kekuasaan tak apalah bersikap tidakjelas, banci.

Tapi nampaknya bagi-bagi kekuasaan ala SBY ini tidak membuat partai-partai koalisi menjadi loyal. Terbukti ketika melihat ada peluang (kasus century) untuk mendaki semakin ke puncak, mereka saling bersikutan.

Begitu juga dengan PKS, bukankah dulu menerima Budiono sebagai pasangan SBY, kenapa sekarang malah mempermasalahkan. Jika memang konsisten, ya dari dulu jangan ikut gabung koalisi dong. Tidak jelas lagi bukan ? banci.

Ketika Golkar ‘berjuang untuk rakyat” membongkar kasus Century, para pembantu Presiden jungkir balik mencari cara melawan balik kasus yang menyudutkan pemerintah ini. Tiba-tiba, kasus pengemplangan pajak Grup Bakrie dihembuskan, pertanyaannya, loh koq baru sekarang-sekarang ini soal pajak dimunculkan. Bahkan Presiden sendiri dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa para penilap pajak harus dikejar, ini memunculkan spekulasi di masyarakat bahwa ada tawar-menawar dengan cara saling ancam. Kenapa dulu tidak setegas ini tentang pajak. Tidak jelas, banci.

Masih segar ingatan di kepalaku, Ruhut Sitompul menyudutkan mantan Wapres Jusuf Kalla ketika memerintahkan menangkap boss Bank Century Robert Tantular. Katanya JK menyalahgunakan kekuasaan, mengintervensi penegak hukum dengan perintah penangkapan itu. Belum lama ini aku baca di media online, staf khusus Presiden, Andi Arief menyidir JK soal penangkapan order langsung itu. Ah, tapi kemudian SBY sendiri dalam pidato kenegaraan malah menyebutkan pemerintah cepat tanggap dengan menangkap Tantular cs (tanpa menyebut peran JK tentunya). Loh, bukannya sebelum ini JK dianggap mengintervensi aparat hukum, kenapa sekarang malah diakui penangkapan itu cepat tanggap. Tidak jelas lagi bukan, banci.

Eh, soal banci berpakaian perempuan aku jadi ingat sesuatu. Dulu sering kulihat orang-orang iseng memakaikan “pakar telematika” KRMT Roy Suryo dengan baju perempuan sexy. Aku berpikir orang-orang iseng ini sudah keterlaluan, kasihan kan “pakar telematika” kita ini. Namun kemarin ketika melihat Roy Suryo teriak-teriak woooo dalam sidang paripurna dewan yang terhormat, aku jadi memahami orang-orang iseng itu. Malah selanjutnya aku berpikir lebih ektrem. Sebaiknya Roy benar-benar memakai pakaian sexy itu ketika dia membela diri, menyebut teriakan woooo itu adalah dinamika demokrasi.

Inilah sebagian contoh tentang banci di negri ini yang setiap hari disuguhkan lewat berbagai media. Setiap hari hal-hal ini disuapkan ke dalam otak kita. Sudahlah, jika kita cari satu persatu cerita tentang banci di negri ini pasti tulisan ini akan panjang sekali. (**)

Jakarta, 5 Maret 10

This entry was posted on Jumat, Maret 05, 2010 and is filed under , , .