Sebuah Cerita : Surat Tuan Presiden

Disajikan oleh Erwin Jahja



Surat-surat ini begitu banyak di meja kerjaku yang sebenarnya tidak ingin kubaca. Awalnya aku sangat antusias membaca surat-surat itu dan kalau bisa ingin kubalas sendiri dengan tulisan tanganku, tapi mungkin itu akan sedikit mengurangi wibawaku. Dari pertama kali hingga hari ini surat-surat ini hanya berisi puja-puji dan sanjungan setinggi langit tentang aku. Tidak sekalipun aku menerima tulisan tentang keluhan, kemarahan, kebencian dan segala macam sumpah serapah tentang diriku, terkadang itu sungguh membosankan.

Sejak aku mebuka kotak pos pribadi belum pernah sekalipun aku menerima surat tentang keluhan dan berbagai hal miring seperti yang kuungkapkan di atas tadi. Aku yakin pembantuku yang bertugas mengurusi kotak pos itu pasti telah mensortir semua surat sebelum sampai di meja kerjaku. Semua surat sanjung puji pasti aku terima, sementara sisa lainnya entah terbuang kemana.

Siang ini adalah hari ke seribu sembilan ratus dua puluh lima aku berkantor di ruang ini. Sampai hari ini belum sekalipun aku menerima, bukan hanya surat, protes ataupun penolakan dari orang terdekat dan pembantu-pembantuku. Semua ucapanku adalah titah yang tak tersanggah, semua adalah kebenaran. Walau di luar sana semua ucapanku seolah kebalikannya, mereka menghujat, memaki bahkan mengolok-olok diriku dalam berbagai bentuk dan guyonan yang kuanggap tidak menunjukan adab timur.

Meja berukir kepala elang dari kayu meranti yang diambil dari hutan Roris, yang mulai gundul akibat pabrik kertas dan perkebunan sawit- demi investasi tak apalah, telah berpuluh tahun berada disini. Meja ini setiap hari selalu siap menampung surat-surat yang datang meski terkadang tak semua kubaca. Di meja ini surat berwarna jingga dengan hiasan bunga melati di sudut atas itu menarik perhatianku.

Surat ini menarik bukan karena warnanya yang mencolok, tapi karena ketikan alamatnya dari mesin ketik yang aku tahu pasti bahwa pengetiknya seorang laki-laki. Hanya seorang lelaki yang mengetik kuat hingga huruf O pada kata PO.BOX itu berlubang. Aha, ternyata masih ada sesorang yang memakai mesin ketik di zaman internet ini.

“Kepada Yang Mulia Tuan Presiden Republik Kornetiantus.”

Kalimat pembuka normatif dari ratusan surat yang pernah aku baca. Kalimat lanjutan surat ini membuat mataku penasaran untuk membaca lebih jauh.

“Tuan Presiden yang saya hormati, saya adalah orang yang pernah dekat dengan anda.”

Luar biasa, ini surat pertama yang kuterima dengan kata-kata “anda” tertuju kepada seorang Presiden lambang negara yang disakralkan hingga tak seorang pun boleh mengkritik dan membantah, itu kata para pembantuku. Pastilah orang-orang yang mensortir surat lalai sehingga surat seperti ini sampai di mejaku. Tapi bukan masalah “anda” dan kelalaian itu yang membuat aku semakin tertarik membaca.

“Tuan Presiden, masih ingatkah anda ketika menjadi komandan pleton operasi militer di Parego. Anda seorang perwira muda yang cakap dan saya adalah salah satu sersan senior di pasukan anda. Meskipun usia kita terpaut jauh, tapi kharisma anda memimpin pasukan sungguh saya terpikat.”

Aku mencoba mengingat-ingat, kuputar semua memori ketika pertama kali aku terjun ke medan tempur setelah menyelesaikan akademi militer, tapi sia-sia. Aku tak mampu mengingat siapa orang ini.

“Saya sangat yakin tuan Presiden tak akan mampu mengingat siapa saya dan tak akan mampu mengembalikan semua kenangan tentang operasi militer itu. Kenyamanan yang mengelilingi anda selama ini membuat anda kehilangan memori.”

Orang ini seolah bisa membaca pikiranku bahkan tanpa aku sadari dari pertama orang ini telah memaksaku mengikuti kehendaknya.

“Tuan Presiden, saya tidak ingin membahas terlalu jauh tentang memori pertempuran kita. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa operasi militer yang dulu kita banggakan sebagai persembahan untuk Ibu Pertiwi hanya berakhir pada keuntungan orang asing. Dulu kita berpikir bahwa Parego tidak boleh jatuh ke tangan asing, Parego tetap harus menjadi bagian dari Negara Kesatuan Kornetiantus. Kita bahu membahu dengan rakyat Parego, kita nyatakan cinta pada mereka hingga kita bersumpah tetes darah dan keringat kita hanya untuk rakyat Parego.”

“Tuan Presiden, saya menyesal telah dibohongi dan dibodohi oleh mereka yang mengutus saya dan anda ke Parego. Sungguh saya menyesal dan penyesalan ini tak mungkin ditebus dengan sisa umur yang tidak seberapa ini. Tahukah anda tuan Presiden, mereka orang-orang Parego telah datang kepada saya membawa air mata.”

“Apakah tuan Presiden bisa menjawab pertanyaan mereka. Parego meminta jawaban Kornetiantus, apakah Kornetiantus mencintai orang-orang Parego atau hanya mencintai kekayaan alam Parego. Ketika Parego meminta sedikit manisnya harta alam mereka maka dijawab dengan mengirim tentara oleh Kornetiantus. Berbagai cap pemberontak dan pengacau keamanan di alamatkan kepada orang Parego. Ketika orang-orang harus menggedor gerbang perusahaan asing yang mengeruk emas Parego, seketika itu juga tentara dan polisi Kornetiantus siap menghadang dengan gagah berani. Apakah meminta hak atas kekayaan tanah mereka adalah kriminal tuan Presiden ?”

Sampai paragraf ketiga aku mulai mengerti maksud tulisan ini, mungkin dia seorang tentara idealis yang merasa rugi bertempur demi jargon Ibu Pertiwi tapi tidak menerima balasan setimpal karena kebijakan pemerintah. Atau mungkin juga pensiunan tentara rendahan yang kecewa karena terusir dari rumah dinas lantas mengirim surat aneh ini.

“Tuan Presiden, bukan hanya masalah Parego yang ingin saya sampaikan kepada tuan. Parego hanya cara saya mengingatkan tuan akan saya. Mungkin tuan menertawakan surat yang saya tuliskan dengan mesin ketik ini, padahal komputer sudah semakin canggih. Untuk orang seperti saya hal ini sangat lumrah tuan, tapi menjadi berbeda jika hal itu dikembalikan kepada anda.”

“Cucu saya bertanya tuan, bagaimana mungkin seorang Presiden di negri besar ini masih menampung keluhan rakyatnya lewat PO.BOX 1112 ini. Bukankah akan lebih baik beliau memiliki akses email pribadi yang kapan saja dan dimana saja bisa menerima keluhan masyarakat.

“Tahukah anda jawaban apa untuk cucu saya ini, tuan?”

“Ya, saya jawab mungkin menteri-menteri dan orang sekeliling Presiden memang tidak menginginkan beliau memiliki itu. Menteri-menteri itu tentunya tidak ingin kinerja mereka mensejahterakan rakyat terpantau langsung oleh Presiden dari surat rakyatnya. Dengan itu mereka tak mungkin melakukan sortir surat rakyat untuk Presiden tentunya. Atau mungkin juga Presidennya yang memang tidak mengerti internet seperti kakek ini. Itu jawaban yang saya berikan pada cucu saya, tuan. Apakah tuan berkenan?”

Semakin lancang pengirim surat ini berceloteh tentang aku, semakin membuat aku penasaran. Surat ini cukup panjang dan anehnya aku semakin tertantang membaca apa yang diinginkan orang ini. Sekali ini aku, Sri Bamtarayana merasakan degub jantung begitu kecang sejak terakhir kali 5 tahun lalu saat aku bersumpah menjabat Presiden Kornetiantus.

“Tuan Presiden, saya sangat menghormati tuan dan saya sangat bangga pernah menjadi bawahan tuan dulu. Tapi semua hilang sirna begitu saja ketika melihat anda di layar kaca menceritakan sulitnya menjadi Presiden sehingga harus menerima caci maki dari semua lawan-lawan politik anda. Ketika anda merasa terancam, anda mengadu kepada rakyat. Bukankah seharusnya rakyat yang mengadu kepada anda, tuan!”

“Ingatkah tuan, Setrana pendiri Republik ini berkali-kali akan dibunuh hingga granat di ujung hidungnya, tapi dia tidak mengadu kepada rayat. Padahal dia seorang sipil tuan, sementara anda seorang militer. Tolonglah tuan, kembalikan rasa hormat saya kepada anda.”

Marah membuncah dadaku, tapi rasa penasaran membuatku terus membaca surat ini. Lancang sekali seorang tentara rendahan berani mengkhotbahi seorang Presiden seperti diriku.

“Ketika tuan serta para pembantu tuan dengan angkuhnya membiarkan barang-barang negri seberang sana masuk tanpa pajak. Apakah terpikirkan oleh anda bagaimana para pekerja dan pengusaha kecil di negeri ini kembali menangis.”

“Tuan, sampai saat ini saya masih merasa diri saya seorang patriot, pembela negara, walau pada akhirnya orang-orang seperti saya hanya menjadi korban penguasa. Saya tetap bangga menjadi seorang tentara, begitu juga anda tentunya. Tapi menjadi pertanyaan saya tuan, kenapa militer negri ini tersisihkan sementara Presidennya seorang militer. Pernahkah terpikirkan oleh anda tentang para prajurit di perbatasan yang untuk mencari air bersih saja harus berjuang keras, lebih keras dari pada bertempur di medan perang. Para purnawirawan yang tidak mempunyai rumah untuk sekedar mereka menikmati hari tua setelah sekian lama memberikan darah, air mata dan keringat mereka untuk negri ini. Pernahkah anda menangis untuk mereka tuan?”

“Bolehkah saya bertanya tentang polisi kepada anda tuan. Saya berfikir mereka mendapat lebih dari yang seharusnya mereka dapatkan dari anda tuan Presiden. Anda benar-benar telah belajar dari pendahulu anda. Anda mengerti, jika membesarkan militer untuk kelanggengan kekuasaan akan di cap sebagai diktator otoriter sampai pelanggar HAM oleh dunia internasional, maka anda membesarkan polisi. Ini bukan sentimen seorang tentara tuan Presiden, sama sekali bukan.”

“Sejujurnya sebagai seorang tentara, saya ingin melihat armada laut kita kuat, bukan seperti saat ini yang hanya bermodalkan kapal rongsokan yang untuk mengejar nelayan asing pencuri ikan saja tak mampu. Angkatan udara menyewakan helikopter untuk tambahan pemasukan. Tak berbeda jauh, prajurit-prajurit angkatan darat menjadi centeng bayaran cukong-cukong untuk mencukupi pendapatannya. Tidakkah kita miris mengingat bahwa dulu negri ini pernah disegani dunia karena kekuatan militernya. Sekarang negeri serumpun yang memposisikan kita sebagai saudara tua pun berani memprovokasi, memandang sebelah mata tentara kita.”

Kenapa tanganku ini tak henti gemetar memegang lembaran surat ini, keringat memudarkan sebagian tinta surat itu. Cerutu kuba nomer satu mungkin bisa mengurangi kegugupanku. Asapnya memenuhi paru-paru.

“Sungguh saya prihatin melihat kondisi anda saat ini tuan Presiden,” kembali aku lanjutkan menelusuri kata demi kata.

“Sebentar lagi Parlemen bersidang menuntaskan sandiwara-sandiwara para pelawak politik itu, menuntaskan tentang tuduhan yang di alamatkan kepada anda dan para penyokong anda. Kami tidak tahu keputusan apa nanti yang akan diambil, tapi tahukah anda tuan Presiden yang terhormat, masyarakat tidak peduli dengan apa yang kalian lakukan di atas sana. Tentang bagaimana para oposisi mengorek-ngorek kesalahan anda, tentang bagaimana para punggawa anda berjumpalitan, jungkir balik, bermanuver atau entah apalah untuk melobi kawan dan lawan-lawan politik anda.”

“Tuan Presiden, tolonglah kami. Majulah ke depan tunjukan bahwa anda memang pemimpin kami Negara Republik Kornetiantus yang besar ini, tolong bantu kami rakyat yang menjerit digulung longsor, dihantam banjir, diterjang badai. Tuan, kami sudah cukup banyak menerima kesusahan, selain kepada Tuhan, kami mengadu kepada anda tuan. Dan memang selayaknya lah kami mengadu kepada anda, bukan sebaliknya.”

“Tuan Presiden, sebenarnya saya sangat yakin surat saya ini tidak akan pernah sampai ke tangan tuan, jangankan membacanya menyentuhnya pun tidak. Sebelum sampai ke meja anda, surat ini pastilah akan meluncur ketempat sampah, dibuang para penyortir surat. Tapi biarlah saya tetap akan mengirim surat ini tuan.”

Kulipat kembali surat ini, kubaca alamat di amplop jingga itu. “Uh, betapa semua yang dikatakan orang ini benar adanya,” batinku.

Ya, aku ingat siapa orang ini. Ya, tidak salah lagi dia sersan senior yang menyelamatkan aku dari ranjau personel yang hampir saja membongkar isi perutku dan akibatnya sang sersan kehilangan kaki kanannya. Baiklah, aku membutuhkan dia. Orang ini layak mendapat tempat istimewa, penasihat kepresidenan. Kutekan tombol panggil di mejaku.

“Mohon menghadap Bapak Presiden,” tiba-tiba saja Kolonel Hornet sudah di hadapanku.

“Coba kau selesaikan ini, cari orang ini, ini alamatnya,” kataku sambil melempar amplop beserta isinya itu.

Langkah tegap Hornet meninggalkanku, tak lupa hormat militer kepada panglima besarnya ini. Kutatap punggung ajudanku yang telah 5 tahun selalu siap melayani. Uh, semoga Hornet secepatnya bisa menemukan orang itu.

**********************************************************

Ketukan pintu ruang kerja kepresidenan membangunkan tidurku. Hornet sudah dihadapanku.

“Lapor Bapak Presiden, orang yang dicari sudah ditemukan. Sekarang sudah diamankan di markas polisi daerah, pasal yang akan dikenakan adalah penghinaan terhadap kepala negara,” laporan Hornet membenturkan kepalaku ke sandaran kursi.

Oh, mereka salah menafsirkan perintahku. Hornet pasti membaca surat itu dan menafsirkan lain. Oh, apakah aku seorang presiden yang baik. Oh, entahlah. (***)

Jakarta, 01 Maret 2010



This entry was posted on Senin, Maret 01, 2010 and is filed under , .