Sebuah Cerita : Namaku Sengkala

Disajikan oleh Erwin Jahja



Namaku Sengkala……

Orang-orang selalu memanggilku begitu, entah dari mana asal nama itu. Yang kutahu Bik Imah cuma memanggilku Cah Bagus. Iya, Bik Imah satu – satunya orang yang sangat kuhormati melebihi bapakku yang entah siapa. Iya, Bik Imah wanita yang kujunjung tinggi melebihi ibu kandungku yang tega membuangku dalam kardus bekas berserta ari-ariku. Kata orang-orang Bik Imah yang menemukanku, membersihkanku dari darah dan ari-ariku. Bik Imah juga yang mengasuhku, membesarkanku dengan tangan keriputnya. Bik Imah yang selalu membelai kepalaku dan memanggilku Cah Bagus. Bik Imah yang selalu memandikanku dibelakang rumah panggung pinggir kali itu.
Cah Bagus……nama yang sangat indah dikupingku. Tapi itu dulu, dua puluh tahun yang lalu. Dua puluh tahun aku tak pernah mendengar nama itu mampir ke kupingku.
Sekarang namaku Sengkala, begitu semua orang memanggilku.

Namaku masih Sengkala……

Sampai saat aku berdiri di atas jembatan ini, menatap gubuk-gubuk reyot di pinggir kali sana yang masih tak berubah sejak dua puluh tahun lalu. Sampai saat aku merasakan butiran bening menggantung di kantong mataku, ini pertama kali aku merasakan sejak dua puluh tahun lalu, sejak tubuh kaku Bik Imah terbujur di pelukanku, sejak Bik Imah meninggalkanku sendirian setelah memberi kasihnya selama sembilan tahun padaku.

Melayang ingatanku saat aku harus bertahan hidup sendirian, tak tau kemana harus mengadu, tak tau harus kemana meminta. Yang terpikirkan, apa yang harus aku makan untuk menyambung napasku paling tidak sampai esok hari. Mengemis, pantang bagiku. Aku tak ingin hidup dikasihani orang lain. Aku bertahan hidup seperti binatang di hutan rimba, yang kuat pasti akan memakan yang lemah. Dan aku tak ingin mejadi si lemah yang sewaktu – waktu akan dimangsa.

Aku tak ingin seperti Yudisthira dalam dongeng Bik Imah, aku tak ingin seperti dia, yang mengalah dengan keadaan. Aku ingin seperti Durna, aku harus mendapatkan apa yang ku mau bagaimanapun caranya.

Namaku Sengkala……

Saat umurku lima belas tahun, saat pertama kali aku menusukan belati ke jantung lawanku, saat pertama kali anyir darah membasahi wajahku, saat pertama kali aku melihat eksperesi wajah manusia meregang nyawa secara paksa. Tak ada rasa gentar dan takut di dadaku. Aku harus membunuh, karena aku harus hidup. Aku tak peduli, ini hidup yang kupilih. Bukankah manusia berhak menentukan pilihan hidupnya.

Namaku Sengkala…..

Begitu orang – orang memanggilku, entah itu seorang politikus yang memintaku untuk meledakkan kepala lawan politiknya, entah itu seorang pengusaha yang memintaku mengenyahkan lawan bisnisnya, entah itu bandar narkoba atau pelacur – pelacur hight class yang biasa mereka pakai. Semua orang memanggilku Sengkala.

Namaku Sengkala…..

Sekarang aku tidak lagi memikirkan apa yang akan kumakan esok. Aku hanya menikmati apa yang kulakukan. Berlusin kepala sudah kupecahkan dengan peluruku, berpuluh jantung manusia kucabut paksa dari tempatnya. Aku menikmatinya, saat wajah – wajah memelas memohon ampun, merengek minta dikasihani, bersujud di kakiku meminta Sang Elmaut menunda kematian mereka. Saat peluruku meletus, berputar ke kening mereka lalu meledak di belakang kepala, menghamburkan cairan otak bercampur darah, aku menikmatinya. Selalu kulihat dimata mereka saat maut merenggut, bayangan orang-orang, anak-anak kecil. Mungkinkah itu bayangan ibunya, bapaknya, istrinya atau anak-anak mereka. Aku tak peduli, yang penting setelah ini aku akan mencek saldo di rekeningku.

Namaku Sengkala…..

Saat aku merasa mendapat cinta. Perempuan itu, yang biasa melayani orang-orang berdasi di hotel bintang lima. Aku mendapatkannya, saat dia berjanji tak akan lagi melacurkan diri. Cukup, apapun yang kau mau pasti dapat kuberikan. Walaupun yang kuberi uang dari darah dan otak yang berceceran tapi aku bisa memberi lebih dari yang mereka beri. Tinggallah denganku, aku kan menjadikanmu ratu, jangan lagi kau menghinakan dirimu. Aku merasakan dan menikmati indah tubuh perempuan itu. Saat aku menjadi naif, merasa mendapatkan ganti kasih sayang Bik Imah dua puluh tahun lalu. Aku terhanyut, dibuai angan.

Namaku Sengkala…..

Aku masih menyuntikan berliter morfin ke tubuhku. Aku masih mengarahkan pistolku pada buruanku. Aku masih menikmati rintihan menghiba orang – orang yang akan kubunuh. Aku tak peduli.

Namaku Sengkala…..

Tapi aku harus peduli saat didepan mataku, perempuan itu mencumbu laki – laki lain. Aku memang seorang pembunuh, aku manusia laknat. Tapi aku tak pernah ingkar janji, aku tak pernah berkhianat. Tak ada yang lebih hina buatku selain penghianatan.
Aku ledakan kepala mereka, darah bercucuran, otak mereka berhamburan. Tapi aneh, kenapa tak ada terlintas dimata mereka orang-orang seperti yang sering kulihat saat aku mengeksekusi korbanku. Tubuhku kaku, hatiku membeku. Berpikir aku, kenapa aku….

Namaku masih Sengkala…..

Saat aku berdiri diatas jembatan ini. Tempat dimana aku bisa merasa nyaman dan tenang. Tempat dimana dua puluh tahun lalu tanpa rasa takut aku melompat dari atas sini ke kali coklat dibawah sana, kemudian berenang bak ikan. Sampai saat ini, dua puluh tahun sudah aku kehilangan kasih sayang tulus. Tiba-tiba rasa itu menyergapku. Aku merindukan dekapan hangat Bik Imah, merindukan panggilan sayangnya padaku. Merindukan belaian keriput tangannya. Aku merasa nyaman, aku merindukan saat itu. Merindukan kasih Bik Imah lagi. Merindukan bau dipan reyot penuh rayap yang tiap pagi selalu dibersihkan Bik Imah.

Tapi pantaskah aku mendapatkan itu lagi ? Masih bolehkah aku memimpikan hidup seperti itu. Sedang tanganku kotor oleh darah, perutku terisi makanan dari uang darah dan hembusan nafasku telah tercemar oleh morfin yang kusuntikan ke tubuhku.

Namaku masih Sengkala……

Saat kubergidik mendengar kumandang adzan dari mesjid di bawah sana. Ada keinginanku tuk menyambut panggilan itu. Terngiang di kupingku suara lembut Bik Imah membimbingku sholat, mengajariku berwudhlu. Tapi pantaskah aku, bolehkah aku memasuki rumahMu yang suci. Kupaksakan hati dan jiwaku ini melangkah kesana. Menyambut bait – bait suciMu, membersihkan tangan kotorku dengan wudhlu.

Namaku masih Sengkala…..

Saat para polisi itu berhamburan mengepungku ketika kakiku masih melangkah ke mesjid itu. Aku berhenti, kulayangkan pandangku pada mereka. Entah apa yang mereka teriakkan. Selintas terpikir olehku, siapa lagi yang telah mengkhianatiku. Biarlah aku tak takut menghadapi maut, bukankah selama ini aku telah berkali – kali menghadapinya. Berpantang mati sebelum ajal menjemputku. Kutegapkan kakiku melangkah, menyongsong, kucabut pistol yang terselip di pinggangku.

Namaku masih Sengkala……

Saat peluru panas bersarang didadaku. Darah mengalir deras dari jantungku yang bocor. Berputar tempatku berpijak. Dipelupuk mataku melintas orang yang sangat kusayangi, Bik Imah, dan seorang putri kecil yang cantik…..anakku.
Pekanbaru 2006

This entry was posted on Kamis, Maret 11, 2010 and is filed under .