Sebuah Cerita : Dongeng dari Andalas

Disajikan oleh Erwin Jahja


“Sepertinya kita harus lebih siaga dan waspada lagi hari-hari kedepan pandeka,” suara berat penuh wibawa Datuk Perpatih seolah tenggelam oleh derik binatang malam.

Ditengah balairung itu duduk bersila Datuk Perpatih, didepannya dua orang hulubalangnya menyimak dengan seksama semua penuturan sang datuk. Pandeka Kuniang Batuah dan Sutan Marajo adalah dua orang kepercayaannya. Datuk Perpatih Nan Sabatang, itulah gelar yang disematkan padanya, ia adalah pemimpin bijaksana dari ranah Andalas ini. Namun sekarang ia menjadi was-was semenjak negrinya didatangi orang-orang dari tanah jawa. Datuk Perpatih harus memutar otak untuk menghadapi ancaman dari orang-orang Majapahit. Apabila melawan dengan kekuatan perang pastilah mereka akan kalah telak. Bagaimana mungkin melawan pasukan Sang Mahapatih Gajah Mada yang masyhur itu. Negrinya hanyalah negri kecil ditanah Andalas ini. Sedangkan Majapahit siapa yang tidak mengenal Sri Maharajasa dan Mahapatih Gajah Madanya, sampai ketanah Malaka dan Siam mereka ditakuti, kekuasaan mereka meliputi hampir seluruh pulau sumatra, dharmasraya telah mereka kuasai, sampai ke seram dan maluku, bahkan mereka dapat dengan mudahnya menaklukan Papua. Mungkin hanya orang Mongollah yang dapat menandingi kekuatan tentara Majapahit, itu pun jikalau Khubilai Khan masih ada.

Wakil Presiden

Disajikan oleh Erwin Jahja

Sekarang lagi musimnya semua tokoh-tokoh nasional mendeklarasikan diri menjadi calon presiden. Ada yang mengklaim pro rakyat kecil, petani, nelayan, ada yang saling sindir, ada yang seolah-olah terzolimi ada yang menyatakan ingin mendedikasikan diri untuk rakyat dengan menjadi presiden, ada lagi yang ingin menjadi capres independen walaupun akhirnya tak diizinkan oleh Mahkamah konstitusi.

Namun…..tak ada satupun tokoh-tokoh nasional yang dengan tegas mendeklarasikan diri menjadi wakil presiden. Padahal…..posisi ini sangat strategis loh…tanya kenapa?

Demokrasi Barbar

Disajikan oleh Erwin Jahja

Buas dan beringas, hanya dua kata itu yang bisa diungkapkan melihat keganasan demonstrasi massa pro pemekaran Propinsi Tapanuli ketika berdemonstrasi di Gedung DPRD Sumut hari selasa (3/2/09) kemarin. Seolah-olah keberingasan dan anarkisme menjadi suatu keniscayaan yang harus terjadi jika kehendak tidak diikuti. Ujung dari aksi massa ini kembali mencoreng muka Bangsa Indonesia di dunia internasional, pasalnya masyarakat di negara yang terkenal santun ini kembali membuat catatan buruk dalam pembelajaran berdemokrasi. Seorang Ketua Parlemen tingkat provinsi menghembuskan nafas terakhir akibat aksi anaskis yang dilakukan massa pro pemekaran Propinsi Tapanuli ini. Secara langsung, masyarakat dunia dapat melihat bagai mana seorang Ketua Dewan yang terhormat ini ditarik-tarik dan dipukuli massa. Massa yang beringas merangsek mengejar sang Ketua. Kita dapat melihat, bahwa polisi tidak dapat berbuat banyak ketika ribuan massa demonstrasi kehilangan kendali, menghajar dan merusak apa saja yang ada di depan mereka.

Sekolah Swadaya di Tengah Komunitas Pencetak Bata

Disajikan oleh Erwin Jahja

Mungkin sebagian besar masyarakat Pekanbaru tidak mengetahui bahwa di pinggiran Kota Pekanbaru, tepatnya di Kelurahan Sail Kecamatan Tenayanraya ada sebuah desa bernama Desa Bukit Jamin, yang sama sekali tidak menikmati majunya perkembangan pembangunan Kota Pekanbaru.

Bayangkan saja, desa yang hanya berjarak sekitar 10 km dari pusat kota itu sama sekali belum tersentuh listrik. Jalan menuju desa tersebut hanya berupa jalan tanah selebar 4 meter.

Warga Desa Bukit Jamin tersebut umumnya orang perantauan yang berasal dari suku Nias yang berprofesi sebagai buruh cetak batu bata. Desa ini dihuni sekitar 100 Kepala Keluarga (KK) yang tinggal dirumah-rumah semi permanent beratapkan rumbia, sebagian lagi rumah – rumah bata tanpa plester semen.

Sebuah Cerita : Lelaki Dengan Senyuman Dan Tawa Gigi Kuning

Disajikan oleh Erwin Jahja

Sebelum adzan subuh berkuumandang menghiasi fajar pagi, perempuan itu setia berjalan tiga kilometer menggendong bakul jamu. Selalu rutinitas itu dilakukan nya setiap hari, selalu dengan peluh dikeningnya, hampir empat tahun ini. Di pagi buta dingin, telah bercucuran keringat dengan botol-botol jamu yang diraciknya malam tadi. Berharap hari ini jamu racikannya akan diminum orang-orang, membuat sipeminum menjadi segar olehnya. Entah itu karena jamunya memang manjur atau karena sugesti orang – orang.

Tidak seperti pedagang jamu gendong lainnya, yang selalu berkeliling menjajakan dagangannya. Perempuan itu menjajakan dagangannya tetap di depan emperan ruko kelontong milik seorang pedagang Tionghua.