Sebuah Cerita : Dongeng dari Andalas

Disajikan oleh Erwin Jahja


“Sepertinya kita harus lebih siaga dan waspada lagi hari-hari kedepan pandeka,” suara berat penuh wibawa Datuk Perpatih seolah tenggelam oleh derik binatang malam.

Ditengah balairung itu duduk bersila Datuk Perpatih, didepannya dua orang hulubalangnya menyimak dengan seksama semua penuturan sang datuk. Pandeka Kuniang Batuah dan Sutan Marajo adalah dua orang kepercayaannya. Datuk Perpatih Nan Sabatang, itulah gelar yang disematkan padanya, ia adalah pemimpin bijaksana dari ranah Andalas ini. Namun sekarang ia menjadi was-was semenjak negrinya didatangi orang-orang dari tanah jawa. Datuk Perpatih harus memutar otak untuk menghadapi ancaman dari orang-orang Majapahit. Apabila melawan dengan kekuatan perang pastilah mereka akan kalah telak. Bagaimana mungkin melawan pasukan Sang Mahapatih Gajah Mada yang masyhur itu. Negrinya hanyalah negri kecil ditanah Andalas ini. Sedangkan Majapahit siapa yang tidak mengenal Sri Maharajasa dan Mahapatih Gajah Madanya, sampai ketanah Malaka dan Siam mereka ditakuti, kekuasaan mereka meliputi hampir seluruh pulau sumatra, dharmasraya telah mereka kuasai, sampai ke seram dan maluku, bahkan mereka dapat dengan mudahnya menaklukan Papua. Mungkin hanya orang Mongollah yang dapat menandingi kekuatan tentara Majapahit, itu pun jikalau Khubilai Khan masih ada.

“Sejak kekalahan orang Majapahit dalam pertandingan adu kerbau waktu itu, aku mulai merasakan gelagat yang sangat tidak mengenakkan,” Datuk menyambung lagi.

Majapahit telah menelan kekalahan sebelumnya akibat terlalu meremehkan negri Datuk Perpatih. Mereka datang dengan kekuatan armada empat kapal perang lengkap dengan prajurit-prajurit pilihan dan persiapan perang, bersandar dipesisir barat Andalas. Walaupun hanya dengan empat buah kapal perang saja, pasukan Majapahit yakin sudah bisa menundukan negri Sang Datuk. Datuk paham akan hal itu, maka dicarinya siasat untuk menghindari pertumpahan darah. Diajaknya punggawa Majapahit untuk bertanding mengadu kerbau. Apabila Majapahit menang, maka Datuk akan tunduk kepada kerajaan Majapahit dan siap memberi upeti. Tapi jika mereka menang, maka pasukan Majapahit harus angkat kaki dari negrinya. Jelas Majapahit menerima tantangan itu, menurut mereka mengadu kerbau adalah tradisi mereka, pastilah mereka akan memenangkan pertandingan ini dengan mudahnya.


Maka dicarilah kerbau terbaik ditanah Jawa. Dibawalah kerbau pilihan itu ke Andalas, bobotnya begitu besar sehingga untuk menarik tiga buah pedati sekaligus pun pastilah kerbau itu mampu melakukannya. Datuk mencari siasat bagaimana cara mengalahkan kerbau orang-orang Jawa itu. Tak mungkin mencari lawan tanding yang sepadan dengan kerbau Majapahit, maka dicarilah anak kerbau yang baru saja lahir dan belum lepas menyusu dari induknya. Disepasang tanduk yang belum tumbuh sempurna itu disematkan dua bilah belati sebagai pengganti tanduknya. Dan hari yang ditentukan tiba, para punggawa dan prajurit Majapahit tertawa terkekeh sampai mengeluarkan air mata melihat lawan tanding kerbau mereka.

“Apa kau sudah tidak waras wahai Datuk,” cemooh Lembu Kilingan, pimpinan pasukan Majapahit.

“Mana mungkin anak kerbau itu melawan kerbau kami yang tak terkalahkan ini.”

“Biarlah, apapun yang terjadi nanti aku pasti tetap akan menepati janjiku pada kalian,” sahut Datuk Perpatih penuh wibawa.

“Baiklah, jangan kau menyesal kemudian hari karena ini pasti akan diingat anak cucumu kelak,” semakin bersemangat Lembu Kilingan melecehkan Datuk.

Berhadap-hadapanlah kedua kerbau yang sangat jauh perbedaan ukuran tubuhnya itu, lantas dilepaskanlah keduanya. Anehnya kerbau besar milik orang tanah Jawa tidak melakukan apa-apa, sedangkan anak kerbau orang Andalas berlari kencang menyeruduk kebawah perut kerbau besar tadi. Anak kerbau itu sengaja tidak diberi susu beberapa waktu lamanya dan pastilah kehausan, dengan begitu ia menganggap kerbau Majapahit itu adalah induknya. Diseruduknya perut kerbau besar mencari-cari susu dan tertancaplah belati tajam ditanduknya itu keperut kerbau Majapahit, semakin ia menyeruduk, semakin besarlah lubang yang menganga diperut kerbau Jawa tadi. Hingga ususnya terburai dan akhirnya terkapar kelelahan kehabisan darah.

Orang Majapahit kalah, mereka pulang kembali ke negrinya. Tapi Datuk Perpatih yakin mereka akan kembali lagi untuk menutupi malunya.

“Mereka tak akan dengan semudah itu mengakui kekalahannya, mereka Negri yang besar lagi tersohor, manalah mungkin mereka menerima kita permalukan seperti demikian,” lanjutnya.

“Pasti mereka akan datang lagi membawa pasukan besar untuk menaklukkan negri kita ini.”

“Kita harus memutar otak untuk menghidari pertumpahan darah, tak mungkin kita berperang langsung untuk menghadapi mereka, kita harus mengatur siasat,” mata Datuk yang merah darah menyipit seperti sedang berfikir keras.

“Bagaimana menurut pendapatmu baiknya yang kita lakukan Sutan Marajo ?” tanyanya pada sang hulubalang.

“Hamba tidak yakin apakah pendapat hamba dapat datuk terima,” jawab Sutan Marajo.

“Maksudmu ?”

“Menurut hemat hamba, ada baiknya kita meminta bantuan ke Palembang, Pasai, Malaka bahkan kalau datuk setujui, hamba akan berangkat ke negri Pasundan untuk meminta bantuan,” kata-kata Sutan Marajo terdengar mantap.

“Maksudmu kita berperang melawan Majapahit dengan meminta bantuan negri lain, begitu ?”

“Menurut hamba itu yang terbaik datuk.”

“Itu tidak mungkin wahai Sutan, aku tak ingin ada darah tertumpah diranah Minang ini.”

“Dan apakah kau tahu hulubalangku ?”

“Bagaimana bisa kita meminta bantuan ke negri-negri yang kau sebutkan tadi, Pasai juga harus menghadapi Majapahit karena pulau Weh hampir saja mereka kuasai, Palembang dengan pusat Sriwijaya yang megah telah mereka porak-porandakan jauh hari sebelum kerajaan kecil berdiri disana, Malaka mungkin bisa kita perhitungkan membantu kita tapi panglima mereka Hang Tuah entah dimana keberadaannya lagi pula bila kekuatan kita dan Malaka digabungkan, belum tentu juga kita dapat bertahan dari serangan Majapahit.”

“Apa kau tahu silsilah raja-raja Majapahit wahai Sutan Marajo, mereka adalah keturunan dari kerajaan Pasundan, anak-anak Raden Wijaya pendiri Majapahit adalah keturunan kerajaan Pasundan, oleh sebab itu sampai saat ini Gajah Mada enggan mengganggu Pasundan,” jelas Datuk Perpatih.

“Bukankah kita juga sebenarnya sudah melakukan hubungan baik dengan mereka dahulu datuk ?” sahut Sutan Marajo.

“Ingatkah datuk bagaimana Puti Indo Jalito atau dara jingga dan Puti Ambun Suri atau dara petak mereka bawa ke Majapahit dulu,” lanjutnya

“Aku tahu, bahkan aku juga tahu kalau Gajah Mada itu masih keturunan melayu andalas sini.” jawab datuk Perpatih.

“Tapi itu semua tidak cukup untuk menghentikan ambisi sang Mahapatih itu, sebab kita semua tahu bagaimana seorang Gajah Mada yang keras hati bersumpah untuk mempersatukan semua negri nusantara dibawah payung Majapahit, ia tak akan peduli dengan silsiah-silsilah itu semua Sutan !”

“Maafkan hamba datuk, hamba tidak mengetahui sampai sejauh itu,” sahut Sutan Marajo.

“Bagaimana menurut pendapatmu Pandeka Kuniang Batuah ?” tanya datuk Perpatih.

“Hamba kira sebaiknya kita berunding dengan Majapahit Datuk, mereka datang kemari pastilah dengan seorang pemimpin, kita harus mendekati pemimpin mereka.”

“Maksudmu Gajah Mada akan datang sendiri kesini untuk menaklukkan kita ?” tanya sang datuk.

“Itu bisa saja terjadi datuk, tapi hamba rasa mustahil dia akan turun tangan sendiri untuk berperang kesini, karena negri kita kecil, hanya dengan sepertiga armadanya saja mungkin kita sudah bisa dikuasainya.”

“Jadi ?”

“Kita harus mendekati siapapun pimpinan mereka nanti yang akan datang kesini datuk, kalau perlu kita rangkul dia,” jelas Pandeka Kuniang Batuah.

“Masuk akal pendapatmu itu Pandeka.”

************************

Rumah sederhana yang lebih mirip tempat para resi bernaung itu adalah rumah Gajah Mada, berada diluar lingkungan keraton. Tak nampak seperti rumah seorang pejabat tinggi yang namanya menggaung seantero nusantara. Memang Gajah Mada telah bersumpah untuk meninggalkan kemewahan sebelum dapat mengusai seluruh kerajaan nusantara dibawah telapak kakinya. Siapa yang tidak tahu akan sumpah Amukti Palapanya yang menggetarkan itu.

Dipendoponya nampak Lembu Kilingan tertunduk kuyu didepan Gajah Mada, tubuhnya yang besar seolah menyusut berhadapan dengan Sang Mahapatih. Tak sanggup ia menatap panglima perang dan ahli siasat politik dihadapannya itu. Ia siap menerima hukuman berat yang akan ditimpakan padanya.

“Aku sudah mendengar semua laporanmu, sekarang kau harus bertanggung jawab padaku dan Baginda Sri Maharajasa,”suaranya berat dan sangat berwibawa, wajarlah semua orang segan padanya, Raja Majapahit sekalipun menyegani Gajah Mada. Tanpa Sang Mahapatih, Majapahit bukanlah apa-apa. Gajah Mada adalah Majapahit dan Majapahit adalah Gajah Mada.

“Ampun Mahapatih junjungan hamba, hamba siap menerima hukuman apapun yang akan ditimpakan pada diri ini, mati sekalipun hamba terima.”

“Hamba telah mempermalukan kerajaan Majapahit, mempermalukan Baginda Hayam Wuruk dan mempermalukan Tuanku,”jawab Lembu Kilingan gemetar.

“Bukan kematianmu yang aku inginkan, aku mengakui niat baikmu menguasai Andalas tanpa berperang, itu baik tapi tidak cukup baik untuk membesarkan nama Majapahit.”

“Tahukah kau Kilingan, mengapa aku begitu berambisi menyatukan Nusantara ini dibawah Majapahit?”tanya Gajah Mada.

“Aku ingin negri ini menjadi besar, disegani seantero jagad ini.” lanjut Gajah Mada.

“Anak cucu kita kelak akan mendapatkan hasilnya apabila semuanya bisa bersatu dibawah satu naungan negara yang bernama Wilwatikta, Majapahit.”

“Kita akan kuat dengan bersatu,tak akan ada yang berani dengan kita dan kita tak akan dilecehkan oleh orang seperti Khubilai Khan atau bangsa Persia dan Romawi sekalipun.”

“Aku ingin negara ini tetap ada, sampai seribu tahun lagi, dan kelak namaku akan terpatri disana sebagai pemersatunya.”

“Usiaku sudah tidak muda lagi, kalaupun aku berhasil mewujudkan sumpahku, tak akan aku ikut serta menikmatinya, kau tahu itu Kilingan ?”

“Daulat Tuanku,”mata Lembu Kilingan berkaca-kaca.

“Aku telah diberi amanat oleh Sri Maharajasa untuk menghukummu.”

“Hukuman apa yang pantas kau terima Lembu Kilingan, setelah mencoreng arang kewajah Majapahit yang perkasa di tanah Andalas sana ?”

“Aku tahu kau tak akan mampu menjawabnya, biarlah kuserahkan putusan hukuman itu ditanganmu sendiri,” kata Gajah Mada sambil berlalu masuk kerumah sederhananya.

Gemetar tangan Lembu Kilingan menyentuh hulu kerisnya. “Jika memang darahku bisa membasuh arang yang telah aku corengkan kewajah Majapahit, kenapa itu tidak kulakukan,” pikirnya lagi. Sungguh sikap seorang ksatria yang berani mempertanggung-jawabkan perbuatannya.

**************************

“Adityawarman, engkaulah yang paling pantas menjadi utusan Wilwatikta untuk menguasai Andalas, engkau adalah pangeran sekaligus panglima Majapahit yang disegani, buktikanlah bahwa kejayaan Wilwatikta akan selalu bergema di seantero Nusantara raya ini.”

“Terima kasih Mahapatih, akan aku junjung amanat ini dan akan kujaga seperti aku menjaga nyawaku sendiri,” jawab Adityawarman tegas.

“Baginda Maharajasa telah bertitah padaku untuk mengutusmu, karena engkau mempunyai darah Andalas dari ibumu, semoga itu bisa menjadi modal buatmu untuk merangkul mereka, aku tidak menginginkan peperangan tapi bila itu menjadi jalan keluar, lakukanlah dan aku harap itu menjadi pilihan terakhir,”wejangan Gajah Mada pelan dan pasti.

“Aku harap engkau bisa menaklukkan mereka seperti dulu saat kau dan aku menaklukkan Bali bersama-sama.”

“Hamba siap,” jawabnya mantap.

“Pergilah semoga kau bisa mengibarkan panji gula kelapa milik Majapahit disana,” Gajah Mada melepas Adityawarman dengan selaksa pasukan, jauh lebih besar dari pasukan yang dibawa oleh Lembu Kilingan.

Sang Mahapatih Gajah Mada dengan gagahnya menunggang gajah memeriksa pasukan yang akan diberangkatkannya. Didampingi panglimanya Adityawarman. Ia tak tahu nama Adityawarman itulah kelak yang akan berkibar memimpin negri Andalas dengan nama kerajaan Pagaruyung.

Bogor 2005

This entry was posted on Senin, Oktober 26, 2009 and is filed under , .