Ibrahim Yacoob, Orang Malaysia yang Jadi Pahlawan Indonesia

Disajikan oleh Erwin Jahja



Tidak salah kiranya beberapa waktu lalu tulisan saya tentang integrasi Malaysia ke Indonesia menjadi solusi terbaik bagi hubungan kedua negara. Integrasi Malaysia menjadi bagian dari Republik ini tentu menjadi penting, agar tak perlu lagi saling ngotot tentang batas-batas teritorial, klaim seni-budaya, klaim kuliner yang di lakukan Malaysia. Kejadian seperti inisden petugas KKP yang baru lalu sangat memicu sensitifitas nasionalisme Indonesia.

Tentu dengan bergabungnya Malaysia ke dalam naungan Republik Indonesia tidak akan ada lagi kemarahan dari masyarakat Indonesia jika mereka mengklaim semua seni-budaya kita. Bahkan mereka boleh sesuka hati memanen ikan di perairan Indonesia dengan syarat bergabung dengan Indonesia. Bukankah bangsa serumpun selalu menjadi jargon untuk menyatukan hubungan antara Malaysia dan indonesia.

Mari Pindahkan Ibukota RI Ke Kuala Lumpur

Disajikan oleh Erwin Jahja


Tidak salah kiranya jika Ibukota RI ini dipindahkan ke Kuala Lumpur sebagai salah satu solusi masalah kedua bangsa yang katanya serumpun itu. Bagaimana kalau Malaysia sebagai saudara yang lebih muda mengalah dengan saudara tuanya untuk kemudian berbesar hati mau memberikan Kuala Lumpur sebagai Ibukota RI. Tak ada yang dirugikan disini, banyak keuntungan yang didapat kedua belah pihak jika Malaysia mau bergabung dengan negeri ini sebagai propinsi ke 34.

Bagi saudara-saudaraku yang serumpun di Malaysia sana, janganlah engkau marah dengan wacana ini sebelum membaca tulisan ini dengan lengkap. Sebab jika ini terlaksana tentu sangat menguntungkan bagimu.

Hanya 1 Polisi Yang Jadi Pahlawan, Itupun Kebetulan

Disajikan oleh Erwin Jahja


Yah, memang begitulah adanya. Di negeri sebesar ini yang namanya pahlawan itu tentu sangat banyak, beragam gelarnya. Mulai dari Pahlawan Perintis Kemerdekaan, Pahlawan Kemerdekaan, Pahlawan Nasional, Pahlawan Revolusi hingga Pahlawan Reformasi. Berbagai macam profesi orang-orang hebat itu ada disana, meski didominasi oleh politikus dan tentara. Namun hanya ada satu polisi yang terdaftar jadi pahlawan dan itupun hanya kebetulan. Hah, kenapa hanya ada satu polisi yang jadi pahlawan? Tidak layakkah polisi yang ikut serta berjuang setelah kemerdekaan mendapat gelar pahlawan. Entahlah.

Sepakbola Pragmatis ala Demokrat

Disajikan oleh Erwin Jahja


Entah penting, entah tidak tulisan ini ditulis tapi sejujurnya aku tergelitik juga untuk menulis tulisan ini. Ketika membaca ungkapan Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum tentang duet mautnya dengan sang Sekjen termuda itu tangan ini mulai gatal untuk menulis, entah penting entah tidak. Duet maut yang diungkapkan Anas kemarin bisa jadi hanya kebetulan saja karena bertepatan momentnya dengan gemuruh event olahraga akbar itu. Tapi menurutku apa yang diungkapkan Anas itu sangat-sangat benar, cocok sekali, pas, mantab. Percayalah, strategi yang diterapkan oleh seorang Anas dan Demokrat memang cocok dengan perkembangan sepakbola dunia terkini.

Bubarkan Saja Satgas Itu, Tuan Presiden

Disajikan oleh Erwin Jahja


Kabarnya Satgas Pemberantas Mafia Hukum digugat oleh kelompok masyarakat Petisi 28 karena disebut tidak relevan dengan UUD 1945. Sebenarnya tidak perlulah Petisi 28 sampai menggugat Keppres itu ke Mahkamah Agung karena seharusnya tuan Presiden yang terhormat mencabut sendiri keputusannya. Atau paling tidak tuan-tuan Satgas tahu diri untuk kemudian mengundurkan diri sehingga Satgas itu bubar dengan sendirinya. Lalu pasti pertanyaan yang akan muncul kemudian adalah kenapa Satgas ini harus dibubarkan, bukankah di tengah carut-marutnya kondisi hukum negeri ini Satgas sangat dibutuhkan. Atau kemudian anda yang membaca ini akan meyakini bahwa penulis tulisan ini adalah antek-antek mafia hukum yang tidak ingin Satgas ini ada. Pertanyaan dan pemikiran seperti itu adalah hak anda, sebagaimana juga hak warga negara lainnya untuk setuju dengan tulisan ini.

Jakarta, Selamat Untuk Ulang Tahunmu dan Kebhinekaan Betawimu

Disajikan oleh Erwin Jahja


Agaknya semboyan Bhineka Tunggal Ika Indonesia dalam arti sesungguhnya telah teraplikasi sejak awal abad ke-18, dan kebhinekaan itu bernama Betawi. Perwujudan kebhinekaan dan percampuran adat budaya berbagai suku bangsa ini terkumpul menjadi satu dan menjelma menjadi sebuah etnis baru bernama Betawi. Suku Betawi adalah aplikasi dalam arti sesungguhnya tentang Bhineka Tunggal Ika yang menjadi semboyan negeri ini. Etnis Betawi tercipta dari berbagai ragam adat-istiadat, budaya berbagai suku bangsa Indonesia. Bagaimana ini bisa bermula dapat diketahui dari cerita sejarah tentang Jayakarta dan Batavia. Bermula dari penguasaan Sunda kelapa oleh pasukan Fatahillah pada 1527 hingga dikuasainya Jayakarta oleh JP Coen pada 1619 dan kemudian mengganti namanya menjadi Batavia.

Awal abad ke-17 wilayah kekuasaan antara Banten dan Batavia dibatasi dengan batasan geografis Kali Angke dan Cisadane yang kemudian menjadi tembok benteng kota Batavia.

Bertemu Tan Malaka

Disajikan oleh Erwin Jahja


Beberapa hari lalu aku menulis tentang Soekarno, bercerita tentang kisah Soekarno founding father negeri ini yang terlupakan karena kita terlalu sibuk membahas soal video-video mesum itu. Ternyata bukan hanya Soekarno yang terlupakan, seorang pahlawan besar Indonesia yang lahir pada bulan ini juga terlupakan. Dia Tan Malaka yang lahir pada 2 Juni 1897. Seharusnya sebelum tulisan tentang Soekarno itu kutulis, tulisan inilah yang ditulis lebih dulu. Tapi aku lupa, lupa jika Juni adalah bulan kelahirannya. Kalau saja malam tadi aku tidak bermimpi bertemu dengannya mungkin tulisan ini tak pernah ada. Bertemu dengan Tan Malaka, ya itulah.

Jangan Tiru Westerling Pak Polisi

Disajikan oleh Erwin Jahja


Westerling, 60 tahun setelah petualangan pemberontakan yang dilakukannya dengan pasukan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) nya itu, mendengar namanya saja sudah masih membuat bergidik. Bahkan jika ada kekejaman yang terjadi di negeri ini, orang-orang akan menyebutnya kejam seperti Westerling. Pembantaian ribuan jiwa rakyat Indonesia yang dilakukannya di Sulawesi Selatan tahun 1946 menjadi sejarah kelam bangsa ini. Aksi yang disebutnya sebagai “Mahkamah Militer Rakyat” dimana dirinya bisa mengadili siapa saja yang dianggapnya bersalah. Tak perlu pengadilan, tak perlu hakim, yang dibutuhkan hanya peluru sesuai keinginan kehendak hatinya saja.

Untung Soe Hok Gie Mati Muda

Disajikan oleh Erwin Jahja


Ya, beruntunglah Soe Hok Gie mati muda, mati di usia 27 tahun kurang satu hari. Soe Hok Gie meninggal pada 16 Desember 1969 dalam dekapan puncak Semeru. Kematian Sang Demonstran ini menjelaskan bahwa ternyata alam lebih mencintai dia dibanding kekuasaan. Ya, beruntunglah dia sang pendobrak kekuasaan absolute Soekarno ini tak terkontaminasi oleh kekuasaan, alam lebih menyayangi dirinya. Meski dirinya adalah salah satu pelopor yang mendorong runtuhnya Orde Lama dan berdirinya Orde Baru, tapi dia tak pernah lupa untuk kritis pada Orde Baru, tak pernah tercemar oleh kekuasaan Orde Baru.

109 Tahun, Melupakan Soekarno

Disajikan oleh Erwin Jahja


Hari ini agaknya lebih menarik bagi kita untuk menulis dan mengulas tentang Luna Maya dan Ariel Peterpan, entah itu membahas masa depan kedua artis itu setelah beredarnya video porno mirip mereka, ulasan asli tidaknya video itu hingga menghubung-hubungkan keduanya dengan kondisi politik dan sosial pada judul tulisan agar dikunjungi pembaca beramai-ramai. Sementara kemarin tanggal 6 Juni, hari kelahiran Bung Karno 109 tahun lalu agaknya sudah terlupakan. Separah inikah ingatan kita akan sejarah? Ataukah kita telah menafikan jasa-jasa Bung kita satu ini? Bung yang berperan sangat besar untuk kemerdekaan yang kita nikmati saat ini! Layakkah kita disebut sebagai bangsa yang besar, bangsa yang melupakan sejarah pahlawannya sendiri.

Patih Laman, Pejuang Lingkungan Yang Dimatikan

Disajikan oleh Erwin Jahja


Dia lelaki tua berumur 89 tahun. Dia ketua adat tertinggi suku Talang Mamak, suku Melayu Tua yang bermukim di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Riau. Dia sang penjaga hutan, penjaga Tanah Keramat Rimba Puaka suku Talang Mamak. Dan dia lah penerima Kalpataru, penghargaan tertinggi bidang lingkungan hidup, dari Presiden Republik ini tahun 2003. Patih Laman namanya.

Sang Patih ini juga telah menerima penghargaan dari dunia internasional, imbalan dari sikap konsistennya menjaga hutan, tahun 1999 WWF Internasional memberinya Award di Kinabalu Malaysia. Sejak lama dia telah membusungkan dada dan menyingsingkan lengan bajunya untuk kelestarian hutan. Dia rela mempertaruhkan nyawa demi menjaga hutan alam suku Talang Mamak, sang patih gagah berani menghadang penghancuran hutan disana. Dan memang sepantasnya lah dia mendapatkan penghargaan-penghargaan itu.

Pak Hoegeng, Pak Lopa, Tolong Bantu Kami

Disajikan oleh Erwin Jahja


Pak Hoegeng dan pak Lopa yang terhormat, kenapa kalian tidak hidup di zaman ini. Zaman dimana kami tengah berada di dalam keanehan hukum yang tak pernah jelas tentang benar atau salah. Tak pernah jelas yang mana penegak hukum dan yang mana penjahat hukum. Sampai-sampai kami sendiri sulit untuk membedakan tentang kanan dan kiri. Kami ketakutan ketika berteriak tentang kebenaran maka suatu ketika kebenaran itu menjadi kesalahan yang akan memenjarakan kami. Walau semestinya kami tidak perlu takut akan penjara, tidak perlu takut akan kriminalisasi. Bukankah dulu Syahrir dan Hatta menikmati penjara saat berteriak lantang tentang kebenaran. Tolong jangan tertawai kami, kami hanya ingin mengadu.

Hatta, Habibie dan Hatoyama

Disajikan oleh Erwin Jahja


Beberapa hari lalu Perdana Menteri Jepang Hatoyama mengundurkan diri karena tidak mampu memenuhi janji-janjinya. Lantas langsung terpkir olehku, bagaimana dengan pemimpin negeri ini, apakah ada yang berani mengundurkan diri seperti Hatoyama. Aku berpikir keras untuk mencari jawabannya. Lama berpikir akhirnya kutemukan, dan ternyata mereka punya kemiripan. Nama ketiganya berawalan dua huruf yang sama H dan A.

Misteri Gajah Mada

Disajikan oleh Erwin Jahja


Siapa yang tidak tahu nama tokoh ini, semua orang Indonesia tahu nama besar Gajah Mada sang Mahapatih Majapahit, orang pertama yang mempersatukan Nusantara. Tapi sampai saat ini, setelah 7 abad sejak kebesaran namanya berkibar di seantero negeri, tidak ada satu pun orang yang dapat mengungkap misteri asal-usulnya bahkan tentang akhir hidupnya. Bukan saja tentang asal-usul dan kematiannya, tentang strategi politik menuju posisi puncak di Majapahit serta strategi perangnya menguasai Nusantara juga masih menyimpan banyak misteri yang tak terjawab hingga kini.

Hantu Itu Pun Meniru..!!!

Disajikan oleh Erwin Jahja


Percaya atau tidak, pengalaman ini benar-benar terjadi dan aneh.

Petang itu usai liputan pendeklarasian pasangan Capres – Cawapres Jusuf Kalla – Wiranto di Pekanbaru, aku melipir ke Kantor Biro Antara Pekanbaru. Kantor Biro ini salah satu tempat paling favorit bagi wartawan di Pekanbaru untuk kongkow sembari menunggu info berita atau peristiwa apapun yang terjadi disana. Berhubung ketika itu aku adalah wartawan media online yang punya motto “alam terkembang jadi kantor”, tanpa menyiakan waktu dan “kesempatan” kuselesaikan laporan beritaku dengan bermodal internet gratisan di kantor temanku ini.

Tak Perlu Kuliah untuk Jadi Dokter, Pengacara Bahkan Presiden

Disajikan oleh Erwin Jahja

Percayakah anda dengan judul di atas itu? Kalau saya percaya.

Kita bisa jadi dokter, pengacara, guru, wartawan bahkan jadi presiden tanpa kuliah. Kenapa anda tidak percaya kalau ingin menjadi sesuatu itu tidak butuh kuliah, buktinya di negeri yang begitu mengagungkan selembar ijazah untuk mencari pekerjaan ini, banyak sekali orang-orang yang bekerja di bidang yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan embel-embel gelar di namanya. Berapa banyak orang yang bergelar Sarjana Teknik yang bekerja di Bank atau jadi marketing, berapa banyak Sarjana Ekonomi yang menjadi web programing, bahkan ada seorang teman lulusan Fakultas Kehutanan menjadi agen asuransi yang sukses.

Lantas buat apa susah-susah kuliah bertahun-tahun mendalami satu disiplin ilmu jika pada akhirnya nanti tidak konsisten menghibahkan kemampuan di bidang pilihan itu. Jawaban paling mutakhir adalah; kalau idealis mau makan apa? Jadilah pekerjaan apapun meski bertolak belakang dengan latar pendidikan, kita terima. Tapi akibatnya, sebagian dari anda malah menjadikan alasan untuk tidak loyal pada perusahaan tempat anda bekerja, alasannya klasik; sebenarnya aku tak suka dan tak mencintai pekerjaan ini karena ini bukan bidangku, bukan minatku.

Apa Kabar Tentara..?

Disajikan oleh Erwin Jahja



12 Mei dua belas tahun lalu adalah tragedi Mei yang menjadi puncak kegeraman rakyat Indonesia pada dominasi militer selama 32 tahun yang identik sekali dengan rezim Soeharto. Tragedi ini selanjutnya menjadi amunisi untuk mengakhiri kekuasaan rezim Orde Baru, dan Soeharto pun jatuh. Kemudian euphoria reformasi membuat kita berbondong-bondong dengan latah menggugat dwifungsi ABRI dan menghujat tentara. Sesungguhnya kesalahan sistem selama lebih dari 3 dekade ini bukan semata tanggung jawab tentara, semua sistem termasuk birokrasi sipil mempunyai andil dan tanggungjawab atas kesalahan itu. Namun pada kenyataannya kita melihat kesalahan rezim hanya pada sisi yang identik dengan militer. Ini tidak dapat kita disalahkan, mengingat dominasi ABRI dengan dwifungsinya yang kebablasan membuat masyarakat sipil alergi dengan militer.

Beranta Indera (Sajak Bung Hatta untuk Indonesia)

Disajikan oleh Erwin Jahja


Lihatlah timur indah berwarna,
Fajar menyingsing hari pun siang,
Syamsu memancarkan sinar yang terang,
Khayal tersenyum berpanca indera.

Angin sepoi bertiup dari angkasa,
Merembes ke tanah, ranting digoncang;
Margasatwa melompat ke luar sarang;
Melihat beranta indera indah semata.

Akhir Lakon Sutan Syahrir, Tragis.

Disajikan oleh Erwin Jahja



Syahrir, seharusnya tak ada orang Indonesia yang berani menyangsingkan jasa-jasanya untuk negeri ini. Diplomasi Sang Perdana Menteri Pertama republik ini di pentas internasional menjadikan Indonesia sebagai negeri jajahan pertama di dunia yang masuk dalam agenda sidang Dewan Keamanan PBB. Dia Pejuang kemanusian, diplomat ulung, demokrat sejati yang mengakhiri lakon hidupnya dengan kisah tragis. Entah kenapa kisah-kisah orang besar negeri ini selalu saja berujung dengan cerita tragis, mengiris hati yang selayaknya tidak mereka dapatkan setelah kebesaran dan keagungan mereka persembahkan untuk Indonesia. Lihat saja akhir cerita Tan Malaka yang ditembak mati tentara republik, Soekarno yang meninggal dalam kesendirian dan keterasingan, demikian juga dengan Hatta hingga akhir hayatnya tidak mampu membeli sepatu Bally yang sangat diinginkannya, seorang mantan Wakil Presiden tidak punya uang untuk sekedar beli sepatu bermerk.

Maaf dari Penguasa Panggung Sandiwara

Disajikan oleh Erwin Jahja

Kami datang dan meminta maaf, ini tak akan terjadi lagi. Semua kerugian ini akan ditanggung, biaya pengobatan dan biaya kerusakan, semuanya ditanggung, tidak usah khawatir. Kebijakan ini tidak akan dilaksanakan lagi. Begitulah ucap kalian penguasa panggung sandiwara, kalimat-kalimat indah itu datang setelah semua terlambat. Kemana kalian ketika mereka teriak-teriak hentikan, hentikan, jangan teruskan. Tapi seolah telinga dan mata kalian menjadi tuli dan buta. Rasa dalam hati membeku. Tak terdengar teriakan kami, tak peduli jerit mereka, yang pasti komando kalian menggelegar, lanjutkan, lanjutkan. Tapi akhirnya teriakan kalian berubah menjadi hentikan, hentikan setelah semua terlambat. Setelah kami kaum kecil ini saling pukul, saling hajar akibat ulah kalian penguasa panggung sandiwara. Tahukah engkau tentang hati ketika berhadapan dengan saudara sendiri, tahukah engkau bagaimana rasa itu ketika di satu sisi mempertahankan hak dan keyakinan, kemudian di sisi lain memperjuangkan tugas meski tidak tahu untuk kepentingan siapa perjuangan ini dilakukan.

Satpol PP Jagoanku

Disajikan oleh Erwin Jahja


“Hei, pindah kau, jangan jualan disini. Menggangu ketertiban umum saja kau ini, mengotori keindahan kota, pergi sana jualan jauh-jauh, jangan disini,” gelegar suara dahsat meledak disamping telinga pak tua pedagang bubur ayam itu. Wah, jagoan-jagoan ini mengangkangi saudara-saudaranya sendiri. Dengan seragam kedinasan gagah bak militer, sang jagoan berteriak sejadi-jadinya, sesekali menendang dagangan si tua pedagang kaki lima. Lalu terbirit, tergopoh si tua mengemasi dagangannya. Hebat sekali kuasa para jagoan berseragam Satpol PP ini, amboi andaikata jagoan-jagoan ini tau apa doa si tua yang tertindas ini, masihkah dia berani membentak. Atau beranikah mereka menatap mata si tua bangka yang mungkin saja kelak adalah kakek seorang Presiden.

Tan Malaka, Kisah Patjar Merah Indonesia dan Matu Mona

Disajikan oleh Erwin Jahja



Patjar Merah Indonesia, mendengar nama ini pastilah hampir semua orang yang menyenangi dan mempelajari sejarah tahu siapa tokoh utama novel itu. Tapi seberapa banyak yang tahu tentang penulisnya, berapa orang yang sudah membaca dengan lengkap cerita roman itu, tidak banyak kurasa. Maka beruntunglah kita yang belum pernah membaca roman campuran cerita fiksi dan sejarah petualangan Tan Malaka ini. Adalah Beranda Publishing, penerbit asal Yogyakarta bijak memahami kehausan dan rasa penasaran kita yang belum membaca cerita tentang Patjar Merah Indonesia ini. Perusahaan penerbitan ini mencetak ulang jilid pertama kisah petualangan ala Tan Malaka pada Februari 2010 lalu, dan beruntunglah aku menemukan buku ini di sebuah toko buku besar awal Maret lalu. Sang buku tersusun di rak buku-buku sastra, tak alang-kepalang senangnya aku mendapati buku ini, entah kenapa tiba-tiba adrenalin terpacu dalam darahku, padahal sama sekali belum aku sentuh untuk sekedar membaca sinopsisnya.

Jangan Akrobat Tuan-tuan Satgas

Disajikan oleh Erwin Jahja

Tepuk tangan meriah untuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, tuan-tuan telah berhasil membujuk Gayus Tambunan untuk pulang ke Indonesia dari Singapura. Luar biasa untuk Satgas yang telah begitu “gigih” menangani kasus Gayus ini, pastinya tuan-tuan telah berhasil mendongkrak popularitas dan prestasi satgas. Keberhasilan Denny Indrayana dan Mas Achmad Santosa membujuk si Gayus membuat kita berdecak kagum sekaligus bertanya-tanya, jurus jitu apa yang dikeluarkan kedua tuan ini hingga staf pajak itu dengan sukarela digiring pulang.

Living Memories Egalitarian Tribe

Disajikan oleh Erwin Jahja

Rata Penuh
Terimakasih saya haturkan kepada situs Minangkabau Online yang telah berkenan mempublikasikan dan mengalihbahasakan tulisan saya ini; Berpikir Minang Untuk Indonesia.

In the Minangkabau ethnic group (Minang) in West Sumatra, Indonesia has long been an egalitarian political unity, promote discussion and generalization power. Equity is evident in the system of government Kanagarian; each village leader has a right of autonomy to manage their area. Nagari is a union territory, customs and politics in Minangkabau. In the village government, village leaders do not stand alone in making decisions. Decisions taken with a collective leadership "Tigo Tungku Sajarangan" (in which scholars include / merchants, clerics and traditional leaders / government). So that political decisions are taken more mature because through consultation between the political and community leaders.

“In The Name Of Honor”

Disajikan oleh Erwin Jahja




Tak akan ada kata lain selain “Biadab” yang akan meluncur dari tenggorokan anda ketika pertama kali membaca buku true story berjudul “In The Name Of Honor”. Itu juga yang meluncur dari mulutku meski sudah beberapa kali mengulang membaca kisah seorang perempuan bernama Mukhtar Mai ini. Kemarin sore ketika aku membuka lemari buku, kembali aku menemukan buku ini, dan kembali kata “Biadab” itu meluncur dari mulutku.

Buku ini pertama kali diterbitkan tahun 2006 di Paris, berbahasa Perancis, Marie Thérèse Cuny yang menuliskan kisah ini.

Sebuah Cerita : Namaku Sengkala

Disajikan oleh Erwin Jahja



Namaku Sengkala……

Orang-orang selalu memanggilku begitu, entah dari mana asal nama itu. Yang kutahu Bik Imah cuma memanggilku Cah Bagus. Iya, Bik Imah satu – satunya orang yang sangat kuhormati melebihi bapakku yang entah siapa. Iya, Bik Imah wanita yang kujunjung tinggi melebihi ibu kandungku yang tega membuangku dalam kardus bekas berserta ari-ariku. Kata orang-orang Bik Imah yang menemukanku, membersihkanku dari darah dan ari-ariku. Bik Imah juga yang mengasuhku, membesarkanku dengan tangan keriputnya. Bik Imah yang selalu membelai kepalaku dan memanggilku Cah Bagus. Bik Imah yang selalu memandikanku dibelakang rumah panggung pinggir kali itu.
Cah Bagus……nama yang sangat indah dikupingku. Tapi itu dulu, dua puluh tahun yang lalu. Dua puluh tahun aku tak pernah mendengar nama itu mampir ke kupingku.
Sekarang namaku Sengkala, begitu semua orang memanggilku.

Sebuah Cerita : N O N I

Disajikan oleh Erwin Jahja



Pukul 7 malam aku sudah berada di stasiun Gambir,menunggu keberangkatan kereta api Senja Utama jurusan Jogja. Padahal kereta berangkat masih satu jam lagi. Aku sengaja mengambil cuti tiga hari, untuk melepas penat dan bosanku mengerjakan rutinitas. Untunglah saat ini bukan musim liburan, yah jadi tak begitu ramai.

“Hmm, apa ya kata Warsito nanti kalo aku sampai disana,“pikirku.

Aku memang sengaja tak memberi tahu karibku itu, biar dia sedikit kaget. Sudah satu tahun lebih aku tak ke Jogja. Kulangkahkan kaki ku menuju peron, tempat duduk tunggu itu penuh semua.

Kisah Negeri Banci

Disajikan oleh Erwin Jahja

Ini cerita tentang negri para banci bernama Indonesia. Di negri ini, tidak pernah jelas tentang laki-laki dan perempuan, tidak pernah jelas tentang kanan dan kiri, juga tidak jelas tentang benar dan salah. Di negri ini para banci berkuasa, bermunculan di televisi.

Ayo kita bahas.

Lihatlah betapa tidak jelasnya status kelamin seorang presenter musik ketika dengan raga laki-laki yang kokoh memakai pita bunga di kepala, baju hamil dan celana leging (aku gak tau bahasa bakunya apa) menggoda vokalis laki-laki band karbitan. Ini baru satu contoh manusia tak jelas di dunia hedonis entertainment, katanya itu fashionable, padahal wujudnya lebih mirip alien entah dari planet mana. Dan itu digemari masyarakat kita.

Sebuah Cerita : Surat Tuan Presiden

Disajikan oleh Erwin Jahja



Surat-surat ini begitu banyak di meja kerjaku yang sebenarnya tidak ingin kubaca. Awalnya aku sangat antusias membaca surat-surat itu dan kalau bisa ingin kubalas sendiri dengan tulisan tanganku, tapi mungkin itu akan sedikit mengurangi wibawaku. Dari pertama kali hingga hari ini surat-surat ini hanya berisi puja-puji dan sanjungan setinggi langit tentang aku. Tidak sekalipun aku menerima tulisan tentang keluhan, kemarahan, kebencian dan segala macam sumpah serapah tentang diriku, terkadang itu sungguh membosankan.

Berpikir Minang Untuk Indonesia

Disajikan oleh Erwin Jahja


Bicara tentang politik di Minangkabau adalah bicara tentang desentralisasi dan otonomi, politik orang Minang adalah politik yang lebih dekat dengan dengan konsep demokrasi sebenarnya. Sejak lama di Minangkabau telah terkonsep politik kebersamaan yang egaliter, mengedepankan musyawarah dan pemerataan kekuasaan. Pemerataan ini dari dulu sudah terbukti dengan adanya system pemerintahan Kanagarian di Minangkabau, setiap pemimpin nagari mempunyai hak otonomi mengelola daerahnya masing-masing. Nagari adalah suatu kesatuan wilayah, adat dan politik di Minangkabau. Dalam nagari, pemimpin tidak berdiri sendiri dalam mengambil keputusan, adanya kepemimpinan kolektif ‘Tigo Tungku Sajarangan” (di dalamnya mencakup, cerdik pandai/saudagar, ulama dan pemimpin adat/pemerintahan), kebijakan yang diambil lebih matang lewat musyawarah antara pemimpin politik dan masyarakat.

Bailout Warung Mpok Sentuni Part.I

Disajikan oleh Erwin Jahja



“Coy gimana aktingku tadi, lumayan kan?” Aku yakin kau pun kaget ku maki-maki seperti itu kan Coy. Hahaha, biarlah tak apa itu Coy. Yang penting lampu-lampu blitz dan sorot kamera para wartawan itu kan, hahahaha !” lebar tawa si Pultak.

Kepala Gemblus masih panas dipermalukan si Pultak dalam rapat lintas PERAKSI, semacam majelis pemantau kerja kepala desa, di balai Desa tadi pagi. “Tapi kau kelewatan kali tadi, aku benar-benar jadi emosi. Hampir saja kulempar gelas kau, untung kau kasih kode waktu wartawan-wartawan itu berebutan menyoroti kita. Memang kau ini pandai kali bikin sensasi, lumayan juga lah.”

Sebuah Cerita : I B L I S

Disajikan oleh Erwin Jahja



Gepokan uang dimejaku belum tersusun rapi, setoran yang masuk malam ini lebih banyak dari biasanya. Padahal waktu masih jauh menuju tengah malam, tapi anak-anak asuhanku sudah habis dibooking. Ah, begitu gampang mendapatkan uang dengan menjual jasa begini. Aku rasa pekerjaan ini hal mulia, dengan membuat banyak orang mereguk kenikmatan dan mendapatkan cinta secara instant, yang mungkin saja tak mereka dapatkan di luar sana, di dunia nyata. Yah, aku memang menjual surga dunia ini untuk mereka yang membutuhkannya. Apalagi akhir-akhir ini bertambah banyak orang yang haus akan cinta. Haus akan kenikmatan yang di sini bisa didapatkan dengan cepat. Mungkin saja mereka benar-benar membutuhkan ini, mungkin saja kenikmatan ini tak mereka dapatkan di kantor, di rumah atau malah dari istrinya sendiri. Persetan kata orang menuduh kami mengotori dunia dengan pekerjaan seperti ini. Kenyataannya jasa yang kami jual membuat mereka dapat cinta dan kenikmatan kilat. Hanya orang-orang munafik yang mencerca kami, karena mereka terlalu pengecut untuk mencoba, padahal hati sangat ingin dan penasaran bagaimana rasanya surga dunia disini. Orang-orang yang berkoar-koarr atas nama agama dan hukum pemerintah, padahal mereka sembunyi-sembunyi melakukan itu juga. Sok suci dan pengecut, kemudian cuma berani melecehkan atau memperkosa entah itu anak didiknya, pembantunya, anak tetangga atau bawahan dikantor mereka.

Sebuah Cerita : Kutukan

Disajikan oleh Erwin Jahja



Kulayangkan pandangku pada waduk lumpur didepan mataku.
Syahdan disini pernah ada sebuah desa yang makmur, tenggelam oleh kutukan karena keserakahan mereka. Buku kecil lusuh yang kutemukan dipinggiran waduk ini dapat menjelaskan semua itu.

Desa kami seperti mendapat kutukan dari dewata, setiap saat ada saja bencana yang datang silih berganti. Seperti hari-hari kemarin, dua orang mati lagi pagi itu entah oleh sebab apa, yang jelas sebelumnya mereka hanya sakit flu, demam dan panas tinggi. Kata orang kampung mereka terkena teluh, sebahagian lagi ada yang bilang karena desa kami sedang dilanda wabah penyakit yang aneh. Sudah hampir penuh tanah makam kampung kami, setiap hari ada saja orang yang mati, kami tak tahu apa itu wabah penyakit atau kutukan. Para penggali kubur sudah terbiasa menyiapkan cangkul setiap pagi, dan bertanya-tanya siapa lagi yang mati pagi ini. Bukan hanya itu, ternak-ternak kami juga mati tanpa tahu kejelasan sebabnya. Sawah dan ladang gagal dipanen, padi-padi yang siap dipanen diserang hama tikus, sayur-sayuran diladang membusuk, ikan ditambak sungai mati. Entah apa yang terjadi pada desa kami, tapi itu baru sebagian musibah didesa kami yang aku ceritakan.

Sebuah Cerita : Surat Terakhir

Disajikan oleh Erwin Jahja


“Kawan aku bingung dengan apa yang terjadi saat ini.”
“Aku tak tau apa keputusanku benar atau salah.”
“Mulai saat ini aku sudah tidak di hutan lagi, kuputuskan kembali ke kehidupan normal tanpa harus bersembunyi dan merasa dikejar-kejar.”
“Aku sudah tak tau tujuan apalagi yang kucari di hutan, kalau hanya untuk dendam, kurasa hal itu tak kan pernah habis, seperti lingkaran setan.”
Itu sepenggal surat terakhir yang kuterima dari Mustori. Mustori temanku di bangku SMA dulu di Banda Aceh. Cukup pintar, tampan, polos dan suka menyendiri.
Aku tak begitu terkejut saat mendengar kabar bahwa Mustori memutuskan untuk bergabung dengan gerakan separatis disana. Dulu, Mustori sering bercerita padaku tentang desanya dan keluarganya di Bireun. Saat DOM bapaknya dijemput tentara malam-malam, dituduh makar, tanpa bisa membela diri. Sampai saat terakhir bapaknya pulang diantar Keucik ( Kepala Desa ) desanya. Dan aku masih ingat bagaimana ekspresi Mustori saat bercerita kalau bapaknya pulang dengan cacat, salah satu bola matanya pecah dihantam popor senapan. Tak lama setelah kejadian itu kakak lelakinya yang dijemput paksa dengan tuduhan menjadi informan GAM dan tak pernah tau bagaimana nasibnya. Wajahnya begitu marah dan geram.

Ken Arok Sang Pendiri Wangsa Rajasa (Menurunkan raja-raja Majapahit)

Disajikan oleh Erwin Jahja


Nama Rajasa selain dijumpai dalam naskah sastra Nagarakretagama dan Pararaton, juga dijumpai dalam prasasti Balawi yang dikeluarkan oleh Raden Wijaya, pendiri Majapahit tahun 1305. Dalam prasasti itu Raden Wijaya mengaku sebagai anggota Wangsa Rajasa.Raden Wijaya adalah keturunan Ken Arok.

Ken Arok atau sering pula ditulis Ken Angrok (lahir:1182 - wafat: 1227/1247), adalah pendiri Kerajaan Tumapel (yang kemudian terkenal dengan nama Singhasari). Ia memerintah sebagai raja pertama bergelar Rajasa pada tahun 1222 - 1227 (atau 1247)

Keperkasaan Armada Laut Majapahit dibawah kepemimpinan Mahapatih Gajah Mada dan Laksamana Nala

Disajikan oleh Erwin Jahja


Tahun 1339-1341 / Seluruh Nusantara bagian barat berturut-turut diserang dan ditaklukkan armada Kerajaan Majapahit pimpinan Laksamana Nala. Dimulai dengan menghancurkan Kerajaan Pasai, selanjutnya menuju Jambi dan Palembang. Kemudian mereka menaklukkan Langkasuka, Kelantan, Kedah, Selangor, Tumasik (Singapura). Selanjutnya armada Majapahit mendarat di Tanjungpura, menundukkan Sambas, Banjarmasin, Pasir, dan Kutai. Dalam waktu 7 tahun setelah dikumandangkan "Sumpah Palapa", seluruh Sumatra, Semenanjung Melayu, Kalimantan, dan pulau-pulau di sekitarnya sudah menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Armada Majapahit dengan kekuatan 40.000 prajurit menjadi sesuatu kekuatan dahsyat tak ada tandingannya di Asia Tenggara ketika itu di masa kejayaan Majapahit. Dengan demikian, Nusantara bagian barat sepenuhnya sudah bersatu di bawah panji kerajaan Majapahit, kecuali Kerajaan Sunda.

Catatan Tentang Pemberontakan di Majapahit yang Didalangi Para Dharmaputra

Disajikan oleh Erwin Jahja


Pemberontakan Ra Semi

Kidung Sorandaka menyebutkan pada tahun 1316 ayah Patih Nambi yang bernama Pranaraja meninggal dunia di Lamajang. Tokoh Ra Semi ikut dalam rombongan pelayat dari Majapahit. Kemudian terjadi peristiwa tragis di mana Nambi difitnah melakukan pemberontakan oleh seorang tokoh licik bernama Mahapati. Raja Majapahit saat itu adalah Jayanagara putra Raden Wijaya. Karena terlanjur percaya kepada hasutan Mahapati, ia pun mengirim pasukan untuk menghukum Nambi.
Saat pasukan Majapahit datang menyerang, Ra Semi masih berada di Lamajang bersama anggota rombongan lainnya. Mau tidak mau ia pun bergabung membela Nambi. Akhirnya, Nambi dikisahkan terbunuh beserta seluruh pendukungnya, termasuk Ra Semi.
Pararaton menyebutkan pada tahun 1318 Ra Semi melakukan pemberontakan terhadap Majapahit. Berita ini cukup berbeda dengan naskah Kidung Sorandaka yang menyebutkan Ra Semi tewas membela Nambi tahun 1316.
Pararaton mengisahkan secara singkat pemberontakan Ra Semi terhadap pemerintahan Jayanagara. Pemberontakannya itu ia lakukan di daerah Lasem. Akhirnya pemberontakan kecil ini dapat ditumpas oleh pihak Majapahit di mana Ra Semi akhirnya tewas dibunuh di bawah pohon kapuk.