Bailout Warung Mpok Sentuni Part.I

Disajikan oleh Erwin Jahja



“Coy gimana aktingku tadi, lumayan kan?” Aku yakin kau pun kaget ku maki-maki seperti itu kan Coy. Hahaha, biarlah tak apa itu Coy. Yang penting lampu-lampu blitz dan sorot kamera para wartawan itu kan, hahahaha !” lebar tawa si Pultak.

Kepala Gemblus masih panas dipermalukan si Pultak dalam rapat lintas PERAKSI, semacam majelis pemantau kerja kepala desa, di balai Desa tadi pagi. “Tapi kau kelewatan kali tadi, aku benar-benar jadi emosi. Hampir saja kulempar gelas kau, untung kau kasih kode waktu wartawan-wartawan itu berebutan menyoroti kita. Memang kau ini pandai kali bikin sensasi, lumayan juga lah.”

“Tenang lah bung, yakin aku akting kita tadi jadi headline berita, lihat sebentar lagi di tv,” sahut si Pultak sok tau. “Anggap saja kita kasih rejeki buat mereka, oplah korannya naik itu besok dan rating iklan tv paling enggak tambah banyak, setuju kan?”

Gemblus menganggukan kepala berkali-kali seolah mengerti, padahal anggukan kepalanya lebih mirip ABG mabuk inex.

“Tak, aku lagi bingung ini, skenario cerita rapat kita belum selesai juga aku buat, masih separuh jalan. Aku punya rencana sewa penulis skenario sinetron atau bloger-bloger sok tau itu untuk menuliskan jalan cerita sandiwara kita ini,” kata Gemblus sambil memencet jerawat di jidatnya yang hampir meletus. “PERAKSI-ku (maksudnya PERsatuan bAnci Kamera Sok seksI) minta cepat-cepat selesaikan, bikin cerita sedu-sedan, berdarah-darah dan…,”

“Ah, kau ini,” potong si Pultak menyilangkan kaki sambil menghisap cerutu dalam-dalam, (padahal dia mau muntah karena bau cerutunya sendiri, dengan cerutu itu Pultak merasa dirinya seorang Fidel Castro) “Mau menyewa penulis skenario sinetron segala, kurasa otakmu sedikit bermasalah gara-gara makian bangsat ku tadi ya coy, biarkan saja mengalirlah. Buat apa saja sesuka hati, beruntunglah aku, PERAKSI Jaga Imej tak pernah menegur, apalagi memarahi ku. Aku bebas mau ngapain saja terserah aku, mau memaki, marah-marah, kalau ada yang protes, kawan-kawan di PERAKSI-ku pasti membela aku mati-matian. Makanya, kau pindah saja ke PERAKSI-ku ya, Gemblus, apalagi yang kau harap dari Kultus Meletus itu.”

Hening…tak ada jawaban. Ternyata si Gemblus kehilangan kesadaran akibat terlalu banyak menghirup asap cerutu murahan si Pultak. Ruang VIP warung kopi(biar keren,mereka bilang coffee shop) belakang kantor Kepala Desa ini pun jadi serasa sempit dijajah asap cerutu si Pultak.

“Pultak,” tiba-tiba Gemblus kembali sadar dari mabuk asap cerutu bau kotoran kuda itu. “Apa kau rasa orang-orang desa tau kalau panitia lintas peraksi yang dibentuk ini cuma cara kita menunjukan pada mereka kalau kita bekerja?”

Pultak tak menjawab pertanyaan Gemblus, ternyata di keheningan barusan itu dia berkhayal jadi raja minyak kayak orang Dubai di Timur Tengah sana. Dikelilingi perempuan bohai dengan sajian tari perut Jepang ala sumo yang gendut-gendut itu (hahaha, koq tari perut Jepang? harusnya kan belly dance, ah gak nyambung tak masalah yang penting sama-sama tari perut)

“Pultak !” sekali lagi, masih diam si Pultak.

“Hoi Pultaaaaaaak…!!!” teriak si Gemblus kesal merasa di cuekin Pultak.

“Eh, iya bangsaaaaaaat…eh bangsat, eh bangsat..” ternyata si Pultak orangnya latah (entah benaran latah atau cuma ikut trend, penulis tak mau berpolemik)

“Kau ini dari tadi aku panggil diam saja bikin aku emosi,” kali ini sepertinya Gemblus benar-benar emosi, tak bersandiwara seperti di rapat tadi. “Tak, menurutmu gimana rapat-rapat kita ini dinilai masyarakat desa, sudah berapa point kita, ya. Siapa yang lebih mereka percaya, peraksi Jaga Imej dan kawan-kawanmu atau peraksi Kultus Meletus-ku ya?”

“Ah, pertanyaanmu tak penting, kupikir mau ajak aku berdebat di tv,” jawab Pultak acuh tak acuh. “Tak usah kau tanya lagi siapa yang lebih mereka percaya, sudah jelas Jaga Imej menang telak pada pemilihan majelis kemarin, sudah pastilah mereka lebih percaya pada kami. Jangan berpikiran bisa membuat mereka beralih ke peraksi-mu bung, hahahaha.”

Raut muka Gemblus merah delima mendengar ocehan Pultak, tapi sang pengoceh itu terus saja berceloteh tanpa peduli reaksi Gemblus. “Makanya sebelum pemilihan itu sudah aku wanti-wanti sama kalian semua, jangan salah pilih peraksi. Sekarang ini zamannya jual imej bung, orang-orang lebih percaya sama imej yang kita buat, berbuatlah santun, berwibawa dan anggun pasti kau dipilih. Tak perlu lah kau bikin ribuan rencana, program pembangunan desa yang muluk-muluk, tak perlu janji-janji, yang penting etalasenya bung. Kau tau sendirilah, orang-orang desa kita kan suka yang lemah lembut, senyum ramah, bukan yang meledak-ledak seperti mantan ketua peraksi Pohon Rubuh itu.”

Hilang marah Gemblus mendengar khotbah Pultak, terpesona dia, mirip euphoria mahasiswa baru di kelas dongeng politik ketika menerima kuliah dosen di hari pertama.

“Kau tau bung,” Pultak makin semangat berkicau melihat Gemblus terpesona dengan tiap kalimat yang terlontar dari bibir yang sedikit monyong itu. “Aku pindah dari Pohon Rubuh ke Jaga Imej ini karena aku lihat tak ada harapan lagi di sana. Buktinya Kepala Desa sekarang yang di dukung Jaga Imej menang pilkades kan..!! Sebelum pilkades berlangsung pun aku sudah tau beliau bakal menang. Yang penting imej bung, soal kinerja bisa belakangan. Aku kasih tau ya, kalau soal kultus mengkultus, junjungan kami ini lebih berpotensi dari pada calon dari peraksi-mu, Gem,” terasa jelas nada ejekan di kalimat terakhir itu.

Hampir saja Gemblus “tertidur lebih dalam” terhipnotis oleh Pultak. Tapi kalimat terakhir itu menyentakan Gemblus, itu kesalahan Pultak. Jika dia bersabar sedikit lebih lama menahan mulutnya untuk tidak mengejek pimpinan Gemblus, pastilah si Gemblus ini berhasil dihipnostis Pultak.

“Kau ini memang model orang yang sok tau ya…!” sentak Gemblus menyiapkan serangan balasan (penulis yakin marahnya Gemblus cuma sebatas debat kusir dua orang sahabat, kecuali di depan kamera mereka bisa saling pukul loh, acting yang hebat ya)

“Kalau soal kultus mengkultus kami lah paling jago, buktinya belum ada yang bisa menggantikan pimpinan kami. Ini sudah terbukti di peraksi kami, sementara di sana kan belum, belum tentu anak junjunganmu itu bisa menggantikan bapaknya jadi Kepala Desa nanti, iya kan ?” lanjut Gemblus sewot.

“Ah, itu kan katamu, kita lihat saja nanti. Aku yakin boss ku itu pasti sudah menyiapkan anak-anaknya untuk menggantikan dirinya. Kita kan memang sudah terbiasa dengan sistem model kepemimpinan dinasti, turun temurun. Jadi tak perlu lah ada kemampuan, yang penting bapak pernah jadi boss, anak pun bisa, kayak perusahaan lah.” Pultak tak mau kalah.

Baru saja Gemblus ingin menyahuti tiba-tiba Pultak berteriak memanggil pelayan, “Oi Jul, kau buatkan aku esspreso dulu, kawanku ini buatkan capucinno pake es biar dingin kepalanya.”

“Jadi kalau macam itu ceritamu, kita-kita ini kapan bisa naik ke atas Tak,” Gemblus mulai bosan membantah jadi mending ikuti saja apa kata si Pultak, padahal sebenarnya dia yakin betul kawan ini isi kepalanya kosong tapi pintar memainkan kata.
“Tadi kan udah aku bilang, kalau mau jabatan kau pura-pura saja terzolimi, begitu orang-orang simpati padamu tinggal kau atur strategi saja lah….. Hoi, kenapa kau senyum-senyum sendiri Gem, tak kau dengar omonganku barusan? Malah senyum-senyum, kesambat jin kau kawan?” Pultak kesal, Gemblus mengacuhkannya, malah senyum-senyum sendiri. Dihembuskannya asap cerutu ke muka Gemblus (mirip dukun menjampi-jampi pasiennya), Gemblus langsung tersadar begitu asap cerutu bau kotoran kuda itu menyelinap ke lubang hidungnya.

“Wah, kalau gitu aku bisa naik daun nih, penonton tv pasti simpati sama aku gara-gara kau maki di rapat tadi,” ternyata barusan dirinya mengkhayal jadi assisten Kepala Desa, dia pikir makian Pultak tadi bisa serta-merta menarik simpati publik. Lantas salah satu penonton itu bikin grup dukungan di Facebook “Satu Juta Dukungan Untuk Gemblus Lawan Arogansi Pultak” mantabkan. “Lalu setelah selesai rapat sandiwara ini aku di panggil Kepala Desa, diminta jadi assistennya,” Gemblus menceritakan khayalannya.

“Ooo, rupanya kau berharap juga jadi assisten Kepala Desa ya, mana mungkin Gem sementara peraksi-mu itu tak mau gabung jadi anak buah peraksi-ku. Sekarang pun peraksi-mu terus-terusan menyudutkan peraksi-ku,” sahut Pultak.
“Itu kan strategi marketing bro,” Gemblus sok pakai bahasa gaul anak muda. “Kalau kami kritis sama Kepala Desa masyarakat senang, pamor peraksi-ku naik, terus siapa tau diakhir cerita nanti kita bergabung dan Kepala Desa mengajak kami berbagi kekuasaan,” sekarang Gemblus yang sok tau.

“Tapi kurasa kalian kelewatan juga dalam rapat, jangan lah terlalu menyudutkan kami. Bendahara desa kan sudah menjelaskan soal uang Koperasi Desa yang dipakai menalangi warung bangkrut mpok sentuni itu. Kalau warungnya tak disuntik modal lagi, bisa-bisa semua warung anggota koperasi desa tak dipercaya sama masyarakat. Bisa-bisa orang kampung sini belanja ke warung kampung sebelah, lalu tak ada lagi orang luar yang mau berinvestasi di sini karena dilihatnya warung kita saja bisa bangkrut, apalagi mereka yang bukan orang sini asli, ini namanya berdampak sistemik coy” jawab Pultak, lagi-lagi sok tau (padahal penulis yakin dia tak ngerti apa dampak sistemik kalau warung tutup).

“Woi Pultak, bosan aku sudah dengar alasan ente itu-itu saja. Cari alasan lain lah biar kreatif dikit, apa jangan-jangan memang uang koperasi itu dipakai peraksi Jaga Imej untuk dana kampanye pilkades kemarin…” tiba-tiba Bento anggota peraksi Pohon Roboh menyahuti, entah kapan dia masuk ke ruang VIP coffee shop ini.

“Hoi bung Bento, kau macam hantu bisa muncul seketika. Duduk sini, udah makan siang belum coy?’ Pultak kaget Bento masuk tiba-tiba.

“Itulah aku kesini mau makan, tapi lihat kalian debat soal panitia lintas peraksi jadi hilang selera makanku. Cukup di balai desa saja lah kita heboh,” sahut Bento mengambil posisi duduk disamping Gemblus, kayaknya dia juga tak tahan bau asap cerutu Pultak.
Bento menawari Gemblus rokok kretek dari balik saku jas hujan bersemat pin anggota pengawas desa itu, tapi ditolak. “Jadi gimana Tak, kalau memang dana koperasi itu untuk pilkades?” tanya Bento.

“Buktikan lah Ben, opini publik kalian tak mempan menghajar boss aku itu. Boss kami kuat, masyarakat tak gampang percaya. Kami ini pemenang, kalian kan losser…hahahahahahaha..uhuk,uhuk,uhuk,” Pultak tersedak asap cerutunya.

“Apa sih mau kalian, ben,” sambung Pultak setelah batuknya reda. “Jatah assiten Kepala Desa sudah dikasih, tiga apa empat orang itu, lupa aku. Aku rasa boss peraksi Pohon Roboh mengincar posisi Wakil Kades ya, hehehehe,” ejek Pultak.

Belum sempat Bento menjawab, masuk Bahlul dari peraksi Alim Nih Yee. “Wah ada apa ini rame-rame, ikutan nimbrung dong,” Bahlul memang selalu ketinggalan dalam berbagai hal, karena itu dia selalu sok akrab sama semua orang (biar diajak nongkrong, diajak ngegosip,diajak jalan-jalan). Sangking <<< EYD apa bukan??<<< seringnya gak update, pernah satu kali si Bahlul ini ketinggalan pesawat waktu mau study banding, dia pikir berangkat ke kampung seberang naik getek seperti biasanya kalau dia mau beli baju lebaran ke sana, dia lupa kalau sekarang sudah jadi dewan pengawas desa yang kemana-mana harus naik pesawat walau pun dekat, yang penting kan gaya.(pembaca bingung? mau protes? EGP deh)
“Pesan dulu menu makan nya kawan-kawan, aku yang traktir,” Poltak memang royal biar orang segan sama dia, rumus yang dia percaya dari dulu: “kalau royal traktir orang, pasti orang loyal sama dia”. Mungkin ada benar juga sih, sayangnya yang ditraktir loyalnya saat makan itu saja. Apalagi wartawan-wartawan yang sering mangkal di balai desa, mana makannya banyak, belum lagi pesan rokok satu orang sampai 2 bungkus, tapi ya itu tadi setelah selesai acara traktir-mentraktir tetap aja si Pultak diberitakan yang jelek-jelek. (kasihan Pultak dimanfaatin, atau emang dia nya aja yang oon)

Eh, pembaca udah dulu ya. Penulis mau makan dulu nih mumpung ditraktir bang Pultak, nanti kita sambung lagi…..kalau mau nungguin syukur..engga mau nungguin ya ….tungguin aja deh…sebentar koq…!!!!

This entry was posted on Minggu, Februari 21, 2010 and is filed under , .