Sebuah Cerita : Kutukan

Disajikan oleh Erwin Jahja



Kulayangkan pandangku pada waduk lumpur didepan mataku.
Syahdan disini pernah ada sebuah desa yang makmur, tenggelam oleh kutukan karena keserakahan mereka. Buku kecil lusuh yang kutemukan dipinggiran waduk ini dapat menjelaskan semua itu.

Desa kami seperti mendapat kutukan dari dewata, setiap saat ada saja bencana yang datang silih berganti. Seperti hari-hari kemarin, dua orang mati lagi pagi itu entah oleh sebab apa, yang jelas sebelumnya mereka hanya sakit flu, demam dan panas tinggi. Kata orang kampung mereka terkena teluh, sebahagian lagi ada yang bilang karena desa kami sedang dilanda wabah penyakit yang aneh. Sudah hampir penuh tanah makam kampung kami, setiap hari ada saja orang yang mati, kami tak tahu apa itu wabah penyakit atau kutukan. Para penggali kubur sudah terbiasa menyiapkan cangkul setiap pagi, dan bertanya-tanya siapa lagi yang mati pagi ini. Bukan hanya itu, ternak-ternak kami juga mati tanpa tahu kejelasan sebabnya. Sawah dan ladang gagal dipanen, padi-padi yang siap dipanen diserang hama tikus, sayur-sayuran diladang membusuk, ikan ditambak sungai mati. Entah apa yang terjadi pada desa kami, tapi itu baru sebagian musibah didesa kami yang aku ceritakan.


Dahulu desa kami adalah desa yang paling makmur, menjadi penghasil beras, bahkan kami bisa menjual hasil bumi kami sampai keluar kota. Apa saja yang kami tanam pastilah menghasilkan, belum lagi bukit tanah liat di selatan desa yang menghasilkan bata mutu terbaik. Sungai besar yang mengalir di desa kami tak habis-habisnya menghasilkan ikan, para petambak ikan sungai menghasilkan berton-ton ikan dan udang air tawar yang juga kami jual sampai keluar kota. Hutan di lereng gunung memberi kami penghasilan yang tak ada habisnya. Banyak orang dari penjuru negri yang datang ke kota kami untuk menanamkan modal dan berusaha di desa kami. Tak ada orang-orang usia produktif yang menganggur di sini. Desa kami seperti taman surga, bila memang surga itu ada di dunia ini, desa kamilah tempatnya. Ditambah lagi gunung Plinting yang tegak perkasa menjaga desa kami.

Kami selalu rajin memberi sesajen, sesembahan dan sejenisnya pada mbah Wilis demit penjaga gunung Plinting. Setiap sebulan sekali kami mempersembahkan tumbal ternak dan hasil pertanian kami ke gunung itu. Hingga suatu kali kami lalai melakukan ritual itu, tak lama gunung menunjukkan kemarahannya. Gunung Plinting memuntahkan debu-debu panas, batuan sebesar rumah berguguran menerjang desa kami. Para peramal gunung saling berdebat menduga-duga apa yang harus dilakukan. Ada yang mengusulkan agar warga desa dievakuasi, ada yang bilang bikin lubang perlindungan dan jangan meninggalkan desa, ada yang mengingatkan warga bahwa sesajen untuk mbah Wilis belum diberi. Usul yang terakhirlah yang kami terima, kami baru sadar bahwa kami telah lalai. Ritual kami lakukan lebih meriah dan lebih besar dari biasanya. Gunung masih menampakkan keperkasaannya, menyemburkan awan panas sesekali muntahan lahar dan batu-batu sebesar rumah, seolah ingin berkata, beginilah kalau kalian lalai. Perlahan kemarahan gunung Plinting mulai mereda, kami mulai berani beraktifitas, kesawah, keladang, kesungai, berdagang, sekolah dan aktifitas harian lainnya.

Namun tanpa diduga, pada subuh itu air bah dari sungai Giringmanut bergulung-gulung menerjang desa kami, tanggul irigasi yang kami buat jebol dan air menghancurkan sawah ladang kami. Suaranya bak guntur yang menggelegar, air pekat menghantam, menyeret dan menghancurkan apa saja yang diterjangnya, ratusan nyawa hilang terbawa arus gelombang air bah. Hampir separuh warga desa kami mati karena musibah itu, ratusan orang kehilangan tempat tinggal. Kami bergotong-royong membantu para korban, para petinggi desa sibuk mencari bantuan keluar desa. Apa sebab semua ini terjadi, kami mencari tahu. Ternyata kami lupa pada Nyimas Karang Setu, ular siluman penunggu sungai Giringmanut. Mungkin ia merasa dilecehkan karena kami tak memberinya sesaji seperti kami memberi sesaji pada mbah Wilis. Ia merasa tersaingi, diremehkan dan meledaklah amarahnya pada kami dengan menimpakan musibah ini. Kami pun melakukan ritual yang besar, memohon berkah agar tidak ditimpakan musibah lagi.

Semua ritual penolak bala, penolak bencana telah kami lakukan. Namun tetap saja bencana menimpa desa kami. Malah semakin menjadi-jadi saja, sekarang kami terkena penyakit aneh, setiap orang yang terkena pastilah tak bisa disembuhkan, walau kami sudah mencari dan mendatangkan dukun-dukun, dokter, orang-orang pintar, tetap saja kami tak bisa mengelak. Kami hanya bisa bertanya-tanya, hari ini si anu yang mati, besok siapa lagi, mungkin saja besok giliran kita.

Desa kami berubah sangat drastis, pengangguran dimana-mana karena desa ini tak bisa lagi menghasilkan apa-apa. Perampokan dan kriminalitas merajalela, orang-orang saling curiga satu sama lain. Para petinggi desa berebutan mencari bantuan keluar desa. Mereka berkoar-koar menjanjikan perubahan seperti dulu lagi, tapi setelah kembali lagi kedesa, bantuan yang dijanjikan tak kunjung kami terima. Entah mereka tidak mendapat simpati dari orang luar desa kami atau mungkin saja bantuan itu sudah mereka makan sendiri untuk menyelamatkan keluarganya. Kami hanya bisa bertahan hidup dengan mengais apa saja yang bisa kami makan. Kadang kala kami mendapat belas kasihan dari orang luar desa yang melintas disini.

Kami mencoba mencari lahan baru yang bisa kami tanami, karena tanah desa kami tak mungkin lagi memberikan hasil. Kami membuka lahan dilereng gunung Plinting, kami membakar hutan, yang tanpa kami sadari ternyata membakar seluruh hutan lindung di gunung itu. Kami kehilang cara untuk memadamkan api, sampai desa kami diselimuti kabut asap. Bertambah lagi bencana untuk desa kami, orang-orang terkena asma dan sesak nafas sejak kabut asap itu merebak ke desa.

Hutan yang kami bakar tak bersisa ternyata tak juga bisa kami tanami, tanahnya menjadi gersang. Yang ada sekarang hutan itu gundul dan tak ada lagi yang menahan tanah. Itu menjadi penyebab longsornya lereng gunung Plinting, menghancurkan sebagian warga kami di selatan desa. Rumah warga di selatan desa hancur tertimbun rata dengan tanah karena longsor itu, bertambah lagi korban jiwa penduduk kami.

Lantas kami mencoba mencari jalan keluar yang lain, usaha apa yang bisa kami lakukan untuk mengatasi ini semua. Tapi semua menjadi buntu.

Sampai pada hari itu, Lapin, seorang pemuda desa kami yang terkenal gigih dan ulet menemukan tambang peninggalan kolonial dulu. Dia mencoba menggali lagi tambang tua itu dan menemukan biji-biji pasir yang mengandung emas. Bersorak kami berkat penemuan Lapin itu. Beramai-ramai kami menggali tambang sisa itu, awalnya hanya sebatas lubang peninggalan kolonial, tapi itu tak cukup. Kami menggali lebih dalam lagi, sebagian orang membuat lubang tambang yang baru. Desa kami mulai menggeliat lagi, semua orang sibuk beramai-ramai menambang emas. Semakin dalam kami menggali semakin banyaklah biji-biji emas yang kami temukan. Sedalam mungkin kami menggali, mengharapkan mendapat emas yang melimpah.

Tapi kemudian……
Kemudian muncul lumpur panas dari lubang-lubang yang kami gali, awalnya kami merasa hanya sedikit, namun lama-kelamaan lumpur panas itu mulai membuncah menyembur dari lubang-lubang yang kami gali itu. Perlahan dan pasti lumpur itu meluap menggenangi sawah dan ladang tandus kami. Kami mencoba membuat tanggul, namun tetap saja tak dapat membendung, tanggul itu jebol. Lumpur panas menggenangi desa kami, menutupi rumah-rumah kami. Tak ada yang sempat menyelamatkan diri dari amukan lumpur itu, tak peduli orang jompo, anak-anak dan para wanita semua dilumat lumpur ganas itu.
Aku masih diatap rumahku, berdiri menatap hamparan lumpur yang perlahan mulai menjilati kakiku, entah kemana aku harus menyelamatkan diri.

Kututup buku kecil yang baru saja kubaca.
Selayang tergurat tulisan Nusantara disisi buku itu.
Nusantara?? Terasa asing ditelingaku….
Nama desa ini kah?
Siapa yang menulisnya?
Apa benar ini pernah terjadi…….
Entahlah……..



Pekanbaru, 2006

This entry was posted on Rabu, Februari 17, 2010 and is filed under .