Sebuah Cerita : I B L I S

Disajikan oleh Erwin Jahja



Gepokan uang dimejaku belum tersusun rapi, setoran yang masuk malam ini lebih banyak dari biasanya. Padahal waktu masih jauh menuju tengah malam, tapi anak-anak asuhanku sudah habis dibooking. Ah, begitu gampang mendapatkan uang dengan menjual jasa begini. Aku rasa pekerjaan ini hal mulia, dengan membuat banyak orang mereguk kenikmatan dan mendapatkan cinta secara instant, yang mungkin saja tak mereka dapatkan di luar sana, di dunia nyata. Yah, aku memang menjual surga dunia ini untuk mereka yang membutuhkannya. Apalagi akhir-akhir ini bertambah banyak orang yang haus akan cinta. Haus akan kenikmatan yang di sini bisa didapatkan dengan cepat. Mungkin saja mereka benar-benar membutuhkan ini, mungkin saja kenikmatan ini tak mereka dapatkan di kantor, di rumah atau malah dari istrinya sendiri. Persetan kata orang menuduh kami mengotori dunia dengan pekerjaan seperti ini. Kenyataannya jasa yang kami jual membuat mereka dapat cinta dan kenikmatan kilat. Hanya orang-orang munafik yang mencerca kami, karena mereka terlalu pengecut untuk mencoba, padahal hati sangat ingin dan penasaran bagaimana rasanya surga dunia disini. Orang-orang yang berkoar-koarr atas nama agama dan hukum pemerintah, padahal mereka sembunyi-sembunyi melakukan itu juga. Sok suci dan pengecut, kemudian cuma berani melecehkan atau memperkosa entah itu anak didiknya, pembantunya, anak tetangga atau bawahan dikantor mereka.

Dunia ini memang penuh dengan orang yang munafik, laki-laki mana yang darahnya tidak mendidih menahan birahi bila disodorkan wanita cantik, berkaki panjang, leher jenjang, dada penuh yang siap memuaskan birahi. Mereka bukan Nabi, manalah mungkin bisa meninggalkan nafsu duniawi, mereka juga bukan malaikat yang tak punya nafsu syahwat. Jadi semua yang kulakukan ini hanya memberi sarana untuk mereka yang mengerti bagaimana caranya menikmati hidup didunia ini, inilah caraku. Ini adalah argumenku, untuk membenarkan pekerjaan ini, untuk menangkis semua cercaan dan makian orang-orang munafik yang selalu menghina pekerjaan kami. Sebenarnya aku tak perlu berpikiran sebegini jauh, tapi biarlah, memang beginilah harusnya.

Lihatlah, betapa banyak para pemuka agama, pejabat pemerintah yang berkoar-koar menghapuskan pelacuran, membuat undang-undang entah berapa banyak. Tapi tetap saja akhirnya kami yang menang, kenapa? Karena memang syahwat itu salah satu sifat dasar manusia, kebutuhan yang harus dipenuhi. Bahkan oleh mereka yang berkoar-koar tentang kemaksiatan kami. Malah menurutku mereka lebih hina dari aku dan pelacur-pelacurku, bagaimana pertanggung jawaban mereka yang memakan harta negara, uang rakyat kecil yang membutuhkan. Sedangkan kami di sini memberi pelayanan kepuasan, dan tidak sedikit dari uang rakyat itu mampir kekantong kami, dibawa oleh orang-orang munafik yang didepan khalayak menghujat dan menghina kami.

Aku merasa sangat berjasa pada pelacur-pelacurku ini, sebelumnya mereka di jalanan. Mencari uang dengan menjual jasa birahi ini. Lalu mereka aku tampung, aku tempatkan disini, sangat wajarlah aku mendapatkan sedikit penghargaan dengan setoran setiap mereka memuaskan birahi pria-pria munafik itu.. Tanpa aku, mana mungkin mereka bisa mencari nafkah senyaman ini. Di luaran sana mereka dikejar-kejar bahkan ditangkapi, tidak sedikit yang dilecehkan trantib. Di bawa ke panti rehabilitasi, tapi kemudian setelah keluar panti, apa negara akan menjamin mereka mendapat penghasilan dan penghidupan yang layak. Tetap saja mereka akan kembali lagi seperti dulu, tak ada jaminan bisa hidup setelah di “panti” kan itu. Aturan macam apa itu. Mana janji yang katanya Negara menjamin kehidupan yang layak bagi rakyatnya. Puih…., omong kosong semua itu.

Lebih baik kami dikelola dengan benar, diberi izin yang sah. Bagi yang membutuhkan silakan kemari, kami siap memberikan cinta dan surga dunia. Bagi yang munafik, tetaplah pakai topeng-topeng kalian, tapi suatu saat kita pasti akan bertemu juga disini. Bagi yang benar-benar tak menginginkan kehadiran kami, bisa menyingkir jauh-jauh. Jangan seperti sekarang ini, kami dihujat habis-habisan, dicela, bahkan melihat kami seperti melihat bangkai seekor anjing. Padahal bila diberi izin yang sah, kami pasti dengan sukarela membayar kewajiban kami, entah namanya itu pajak atau apalah. Tidak seperti sekarang, kami tetap saja membayar upeti pada aparat-aparat yang keparat itu. Aku sebenarnya tidak rela memberikan upeti, tapi mau bagaimana lagi. Kalau tidak begitu, dari kemarin-kemarin mungkin usaha bordil ku ini sudah gulung tikar. Dari pada aku memberi upeti yang tak jelas pada aparat-aparat yang keparat itu, lebih baik buat saja aturan perizinan untuk usahaku. Jelas uang yang kubayarkan masuk ke kas negara, paling tidak aku ikut andil membangun negri ini, iya kan ?

Ah, pikiranku terbawa lamunan saja dari tadi, lebih baik aku menghitung uang setoran dari Rae dan Leya yang belum sempat kuhitung tadi. Si cantik Rae beruntung sekali malam ini, mendapat bookingan pejabat yang baru saja dilantik itu. Pastilah dia dapat menangguk uang banyak nanti. Leya kasihan juga, minggu kemarin dibooking orang sakit jiwa. Selesai “bertugas” ia mengadu padaku, kalau ia dipukuli sampai memar sebelum bercinta dengan pelanggannya yang sakit jiwa itu. Tapi apa mau dikata memang itu resiko yang harus dijalani, mencari uang itu tidak gampang bukan. Mereka semua sangat berterima kasih padaku, karena tanpa aku entah bagaimana mereka semua. Sedikit banyak aku bangga bisa ikut andil menghidupi dua puluh orang anak-anak asuhku yang cantik-cantik ini, memberi mereka kemewahan, memberi penghidupan bagi keluarga mereka juga. Bukankah aku jadi berpahala dengan caraku ini.

Tiba-tiba ada ketukan pintu.

“Masuk,” sahutku.

Kepala Robert menyembul dari pintu, dengan wajah kakunya bodyguard ku ini mencoba tersenyum. Perawakan kekar Robert selalu layu setiap bertatapan denganku, seperti anjing penjaga yang garang bertemu majikannya, siap untuk menjilat.

“Mbak Karin, ada lelaki yang memaksa ingin bertemu dengan mbak,” katanya.

“Siapa?” kataku sambil menatapnya penuh tanya

“Aparatkah ? Paling-paling minta upeti lagi.” aku berusaha menebak

“Bukan, aku tak pernah melihatnya sebelum ini, tapi ia tahu dengan mbak, bahkan ia sebutkan nama kecil mbak Karin.” ujarnya mencoba menerangkan.

Penasaran aku dibuatnya, siapa laki-laki ini. Bukankah yang tahu nama kecilku hanya lelaki bangsat yang sudah lama mati itu. Lalu siapa orang yang ingin bertemu denganku ini.

“Baiklah, suruh orang itu masuk,”kataku sambil membenahi ruang kerjaku.

******************************

Laki-laki itu bertubuh tinggi kekar berkulit putih bersih sekali, memakai topi yang menutupi sebagian wajahnya hingga aku tak begitu jelas menatapnya.

“Saya mengenal anda?”tanyaku.

“Nina,”ia menyebut nama kecilku.

“Kau tak mengenalku tapi aku begitu dekat ada dihatimu.”sahutnya

“Bahkan disetiap detak jantungmu dan helaan nafasmu aku selalu ada di sisimu.”ujar lelaki itu sambil menunjukkan senyum tipis mengembang dibibirnya.

Aku semakin heran dan penasaran dengan kata-katanya yang sok puitis.

“Siapa kau, jangan coba-coba berbuat macam-macam disini, para penjagaku siap menendangmu keluar dari sini,” kataku menggertak.

“Tak akan ada yang sanggup melawanku didunia ini, hanya kepada Tuhan kau bisa berlindung dari aku,” katanya dingin. “Tapi aku tahu kau tak akan melakukan itu, bukan saja karena kau sudah begitu jauh dari Tuhanmu tapi juga karena kau begitu memujaku. Aku hadir disini karena aku ingin kau layani,” tiba-tiba lelaki itu membuka topi yang menutupi wajahnya.

Astaga, wajahnya begitu tampan. Belum pernah seumur hidupku melihat lelaki setampan ini, dan sekarang berdiri dihadapanku. Sekarang ia minta aku melayaninya, melayani apa ? Pastilah ia ingin aku memuaskan birahinya. Diusiaku yang hampir empatpuluh tahun ini tak ada yang meragukan kecantikan dan kemolekan tubuhku, bahkan dibandingkan para anak asuhku mereka bukanlah apa-apa. Aku hanya menyalurkan keinginan biologisku pada anak-anak muda bau kencur untuk obat awet muda. Tapi lelaki ini benar-benar membuatku bergetar, tanpa diminta pun pastilah semua wanita akan menghiba-hiba meminta dekapan dan kehangatan tubuhnya, tak terkecuali aku. Tapi biarlah kutahan sebentar, agar aku tidak begitu murahan didepannya.

“Hei, kalau ingin dilayani kau salah tempat, bung !! Ini ada foto kucing-kucingku yang manis-manis, kau tinggal pilih saja minta dilayani oleh yang mana,” kataku jual mahal, padahal mataku hampir melompat keluar melihat ketampanannya.

“Kau salah, mereka semua juga memujaku, mereka semua kekasihku dan semua wanita seperti kalian disetiap jengkal tanah di bumi ini adalah pemujaku, termasuk dirimu. Aku bukan menginginkan birahi yang pasti dengan senang hati akan kalian persembahkan untukku, karena jiwa kalian kini adalah milikku.”katanya lagi.

“Aku bisa mendapatkan bidadari surga yang kecantikannya saja bisa membelah bumi ini, bila aku mau mengikuti perintah Tuhan untuk menundukkan kepala pada Adam kakek moyangmu.” ujarnya.

“Tapi itu tidak aku lakukan, karena akulah yang lebih tinggi dari pada engkau sekalian. Akulah Sang Api, yang dapat melumatkan jiwa-jiwa kalian yang mencintaiku.” getaran suaranya menusuk ke dadaku.

Mendengar kalimat itu aku bingung dan terpana teraduk jadi satu. Dia masih terus melanjutkan kicauannya.

“Akulah yang kalian cintai, padahal aku begitu takut pada Tuhan, sekali aku membantah perintah-Nya dan aku dikutuk sampai hari akhir nanti, sedangkan manusia berkali-kali melakukan kesesatan dan melanggar perintahnya masih bisa mendapat pertobatan,” ujarnya tanpa memberi kesempatan ku untuk bertanya di atas kebingunganku.

“Karenanya aku begitu bangga mempunyai pencinta-pencinta diriku seperti kalian ini, setiap hari kuhembuskan aroma surga dunia kedada kalian agar kalian menjauh dari-Nya yang telah mengutukku. Tanpa kalian sadari, setiap hari kalian memujaku, aku bangga. Nina, kau pembohong besar, kau adalah pengikutku yang paling mencintaiku tapi aku pasti akan meninggalkanmu kelak,” matany menembus kulit, daging hingga ke jantungku.

“Tetaplah mencintaiku, mungkin aku akan membawa kesenangan setiap hari kepadamu, tetaplah seperti ini, layanilah aku setiap saat.”

Aku semakin bingung dengan kata-kata lelaki ini, apa yang diucapkan dari mulutnya tadi. Tapi aku sudah melayang keangkasa dalam dekapan tubuhnya yang kekar, aku menikmatinya. Lantas sepasang sayap hitam legam mengepak dari punggungnya.

“Siapakah dirimu sebenarnya wahai pujaanku?” bergetar bibirku berbisik padanya.

“Akulah IBLIS sang penguasa jiwamu,” sahutnya sambil terus mendekapku lebih dalam kepelukannya.

This entry was posted on Kamis, Februari 18, 2010 and is filed under .