Berpikir Minang Untuk Indonesia

Disajikan oleh Erwin Jahja


Bicara tentang politik di Minangkabau adalah bicara tentang desentralisasi dan otonomi, politik orang Minang adalah politik yang lebih dekat dengan dengan konsep demokrasi sebenarnya. Sejak lama di Minangkabau telah terkonsep politik kebersamaan yang egaliter, mengedepankan musyawarah dan pemerataan kekuasaan. Pemerataan ini dari dulu sudah terbukti dengan adanya system pemerintahan Kanagarian di Minangkabau, setiap pemimpin nagari mempunyai hak otonomi mengelola daerahnya masing-masing. Nagari adalah suatu kesatuan wilayah, adat dan politik di Minangkabau. Dalam nagari, pemimpin tidak berdiri sendiri dalam mengambil keputusan, adanya kepemimpinan kolektif ‘Tigo Tungku Sajarangan” (di dalamnya mencakup, cerdik pandai/saudagar, ulama dan pemimpin adat/pemerintahan), kebijakan yang diambil lebih matang lewat musyawarah antara pemimpin politik dan masyarakat.

Konsep itu dulu (sekarang entahlah) membuat Minangkabau menjadi daerah penghasil tokoh-tokoh besar di kancah politik Indonesia. Harus diakui, di luar Jawa, Sumatera Barat adalah penyumbang terbesar tokoh nasional untuk negeri ini. Musyawarah dan kebebasan berfikir telah melahirkan orang-orang seperti Hatta, Tan Malaka, Sutan Syahrir, Agus Salim, Hamka dan banyak lagi. Tidak dapat dipungkiri berawal dari politik tradisional (sebenarnya jauh lebih modern dari zamannya) inilah pemikiran dan gagasan tokoh-tokoh Minang diadopsi dalam kerangka awal pembentukan negeri ini. Selanjutnya, Hatta, Syahrir, Agus Salim adalah bagian penting dalam kebijakan pemerintahan Indonesia yang masih muda, sementara Tan Malaka mengambil peran pengontrol (namun akhirnya oleh soekarno dianggap pemberontak), sungguh perpaduan yang manis. Kebersamaan menjadi potensi kekuatan yang kita sendiri tidak tau seberapa besar kekuatan itu, terbukti Indonesia merdeka dengan kebersamaan.

Namun berjalannya waktu, konsep kebersamaan, desentralisasi dan otonomi tidak terpakai. Soekarno lebih memilih sentralisasi kepemimpinan di pusat, sementara daerah hanya mengikuti kemauan pusat. Pemerintah menganggap kemakmuran dan kemajuan Indonesia hanya dapat terwujud dengan kontrol yang kuat dari pemerintah pusat. Budaya politik Jawa yang sentralistik hierarki itu terus dipakai sejak masa Soekarno hingga Soeharto (jujur saja sampai saat ini pun masih).

Jauh sebelum adanya kebijakan otonomi daerah di orde reformasi ini, orang Minang telah mengobarkan semangat itu. Namun pemerintah pusat tidak menggubris permintaan otonomi luas untuk daerah. Kekecewaan itu kemudian terakumulasi pada tahun 1958, para perwira militer membentuk Dewan Banteng menuntut otonomi luas untuk daerah. Kemudian didirikan Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang diketuai oleh Letnan Kolonel Achamad Husein, cikal bakal Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Beberapa tokoh Minang yang kecewa pada Soekarno mendukung gerakan ini, Mohammad natsir dan Mr.Assaat menyatakan bergabung. Bukan hanya tokoh Minang yang ikut mendukung PRRI, mantan Ketua PDRI Syafrudin Prawiranegara, Zulkifli Lubis dan Soemitro Djoyohadikusumo termasuk dalam daftar tokoh PRRI.

Soekarno menuduh PRRI tidak murni bertujuan menuntut pemerataan, tujuan utama gerakan ini adalah memberontak dan menjatuhkan pemerintah pusat. Menurut dia kekuatan asing (Amerika) lah yang mendorong para tokoh ini memberontak, mengingat komunis yang mulai dekat dengan Soekarno dan Amerika berkepentingan menjauhkan Indonesia dari Komunis. Menghadapi gerakan ini, Soekarno reaktif mengirim kekuatan milter tanpa mencari tahu sebab awal munculnya kekecewaan PRRI. Ahmad Yani ditugaskan menguasai Bukittinggi dan Kaharudin Nasution menyerang Pekanbaru, dua kota penting bagi perlawanan PRRI. Beberapa perwira militer lainnya di tugaskan mengambil alih daerah-daerah di Sumatera yang dikuasai Dewan Banteng. Kekuatan militer yang besar ini menaklukan perlawanan dan PRRI kalah.

Sejak saat itu tidak ada lagi tokoh-tokoh besar nasional asal Minang yang berpengaruh di pusat pemerintahan. Tak ada lagi tokoh Minang yang menyuntikan pemikiran desentarilisasi, cita-cita otonomi hilang jadi mimpi. Selanjutnya Pemerintah seperti menganak-tirikan tokoh-tokoh Minang. Orang Minang sendiri seolah kehilangan kepercayaan diri, kehilangan sikap kritis terhadap pemerintah pusat lalu tersisihkan.

Ini terus berlanjut hingga masa Orde Baru, system pemerintahan Kanagarian dihapus, diganti dengan system pemerintahan desa seperti di Jawa. Kepala Desa menjadi pemegang kuasa tanpa memerlukan masukan dari Tigo Tungku Sajarangan, hanya mengikuti aturan hierarki kepada Camat dan Bupati. Tak peduli aturan/kebijakan itu tidak disukai oleh masyarakat, yang penting sesuai dengan kemauan pimpinan diatasnya. Orde Baru melarang perbedaan, semua diseragamkan, apapun kemauan pemerintah, itulah yang terbaik untuk masyarakat, (system feodal seperti ini sampai sekarang masih berlaku di Republik ini) padahal tradisi orang Minang terbiasa dengan musyawarah untuk mencapai mufakat.

Kebijakan penghapusan Kanagrian itu secara sistemik (meminjam istilah ngetrend sekarang) telah melemahkan sendi politik tradisional Minangkabau. Kekuatan kebersamaan perlahan-lahan hilang dalam jangka waktu lama, sangat sulit untuk mengembalikan hal itu.

Selanjutnya Orde Baru jatuh, datanglah Orde Reformasi yang menjanjikan angin-angin surga, otonomi khusus diberlakukan. Tapi Otonomi khusus hanya menciptakan raja-raja kecil daerah yang membuncitkan perut-perut penguasa lokal. Jauh sekali dari konsep otonomi yang digadang-gadang PRRI. Sayangnya kondisi ini dibiarkan terjadi begitu saja, orang Minang terlena dan terlanjur lupa akan sikap kritisnya. Sikap "nrimo" ini bukan sifat orang Minang, ini terjadi akibat pengkerdilan politik tradisional Minang secara sistemik (pinjam lagi istilahnya) bertahun-tahun.

Bukan hanya kering ide perubahan, sifat orang Minang yang kritis dalam memilih pun luntur sudah. Dulu, orang Minang kritis dalam memilih, bukan "nrimo" tanpa analisis. Orang Minang tak pernah memilih pemimpin hanya berdasarkan penampilan yang elok. Orang minang memilih dengan rasional untuk kemudian menjatuhkan pilihan berdasarkan kemampuan, bukan pengkultusan. Namun ini menjadi aneh ketika orang Minang menjatuhkan pilihan hanya melihat dari penampilan elok rupawan, gagah perwira tanpa tahu siapa dan apa yang mereka pilih. (ahhh,ngertilah maksudnya)

Dalam kondisi terkini, perubahan sikap dan sifat orang Minang tak boleh terjadi. Sungguh menyedihkan bila politikus, pemikir, saudagar Minang hanya menjadi pengikut, bukan pendobrak, apalagi perintis perubahan. Pemikiran politik tradisonal Minangkabau tidak lagi menjadi ideal. Ratusan ide-ide Hatta, Syahrir, Tan Malaka terbuang cuma-cuma (anak muda Minangkabau sekarang paling tahunya; Hatta=Proklamator, Syahrir=Perdana Mentri, itu pun karena hapalan untuk ujian sejarah, sisanya entahlah). Ayolah, konsep desentralisasi, kebersamaan yang egaliter dalam “Tigo Tungku Sajarangan” itu cocok untuk Indonesia yang Bhineka ini.

Jakarta, 22 Februari 10

Karena Blog ini tak menerima komentar, maka dari itu aku komentari sendiri: Wah, setelah sekian lama ternyata bisa juga nulis serius, bukan cuma cerpen-cerpen gak jelas itu..HaHaHaHa..silahkan ketawa juga kalau mau..

This entry was posted on Senin, Februari 22, 2010 and is filed under , .