Berpikir Minang Untuk Indonesia

Disajikan oleh Erwin Jahja


Bicara tentang politik di Minangkabau adalah bicara tentang desentralisasi dan otonomi, politik orang Minang adalah politik yang lebih dekat dengan dengan konsep demokrasi sebenarnya. Sejak lama di Minangkabau telah terkonsep politik kebersamaan yang egaliter, mengedepankan musyawarah dan pemerataan kekuasaan. Pemerataan ini dari dulu sudah terbukti dengan adanya system pemerintahan Kanagarian di Minangkabau, setiap pemimpin nagari mempunyai hak otonomi mengelola daerahnya masing-masing. Nagari adalah suatu kesatuan wilayah, adat dan politik di Minangkabau. Dalam nagari, pemimpin tidak berdiri sendiri dalam mengambil keputusan, adanya kepemimpinan kolektif ‘Tigo Tungku Sajarangan” (di dalamnya mencakup, cerdik pandai/saudagar, ulama dan pemimpin adat/pemerintahan), kebijakan yang diambil lebih matang lewat musyawarah antara pemimpin politik dan masyarakat.

Bailout Warung Mpok Sentuni Part.I

Disajikan oleh Erwin Jahja



“Coy gimana aktingku tadi, lumayan kan?” Aku yakin kau pun kaget ku maki-maki seperti itu kan Coy. Hahaha, biarlah tak apa itu Coy. Yang penting lampu-lampu blitz dan sorot kamera para wartawan itu kan, hahahaha !” lebar tawa si Pultak.

Kepala Gemblus masih panas dipermalukan si Pultak dalam rapat lintas PERAKSI, semacam majelis pemantau kerja kepala desa, di balai Desa tadi pagi. “Tapi kau kelewatan kali tadi, aku benar-benar jadi emosi. Hampir saja kulempar gelas kau, untung kau kasih kode waktu wartawan-wartawan itu berebutan menyoroti kita. Memang kau ini pandai kali bikin sensasi, lumayan juga lah.”

Sebuah Cerita : I B L I S

Disajikan oleh Erwin Jahja



Gepokan uang dimejaku belum tersusun rapi, setoran yang masuk malam ini lebih banyak dari biasanya. Padahal waktu masih jauh menuju tengah malam, tapi anak-anak asuhanku sudah habis dibooking. Ah, begitu gampang mendapatkan uang dengan menjual jasa begini. Aku rasa pekerjaan ini hal mulia, dengan membuat banyak orang mereguk kenikmatan dan mendapatkan cinta secara instant, yang mungkin saja tak mereka dapatkan di luar sana, di dunia nyata. Yah, aku memang menjual surga dunia ini untuk mereka yang membutuhkannya. Apalagi akhir-akhir ini bertambah banyak orang yang haus akan cinta. Haus akan kenikmatan yang di sini bisa didapatkan dengan cepat. Mungkin saja mereka benar-benar membutuhkan ini, mungkin saja kenikmatan ini tak mereka dapatkan di kantor, di rumah atau malah dari istrinya sendiri. Persetan kata orang menuduh kami mengotori dunia dengan pekerjaan seperti ini. Kenyataannya jasa yang kami jual membuat mereka dapat cinta dan kenikmatan kilat. Hanya orang-orang munafik yang mencerca kami, karena mereka terlalu pengecut untuk mencoba, padahal hati sangat ingin dan penasaran bagaimana rasanya surga dunia disini. Orang-orang yang berkoar-koarr atas nama agama dan hukum pemerintah, padahal mereka sembunyi-sembunyi melakukan itu juga. Sok suci dan pengecut, kemudian cuma berani melecehkan atau memperkosa entah itu anak didiknya, pembantunya, anak tetangga atau bawahan dikantor mereka.

Sebuah Cerita : Kutukan

Disajikan oleh Erwin Jahja



Kulayangkan pandangku pada waduk lumpur didepan mataku.
Syahdan disini pernah ada sebuah desa yang makmur, tenggelam oleh kutukan karena keserakahan mereka. Buku kecil lusuh yang kutemukan dipinggiran waduk ini dapat menjelaskan semua itu.

Desa kami seperti mendapat kutukan dari dewata, setiap saat ada saja bencana yang datang silih berganti. Seperti hari-hari kemarin, dua orang mati lagi pagi itu entah oleh sebab apa, yang jelas sebelumnya mereka hanya sakit flu, demam dan panas tinggi. Kata orang kampung mereka terkena teluh, sebahagian lagi ada yang bilang karena desa kami sedang dilanda wabah penyakit yang aneh. Sudah hampir penuh tanah makam kampung kami, setiap hari ada saja orang yang mati, kami tak tahu apa itu wabah penyakit atau kutukan. Para penggali kubur sudah terbiasa menyiapkan cangkul setiap pagi, dan bertanya-tanya siapa lagi yang mati pagi ini. Bukan hanya itu, ternak-ternak kami juga mati tanpa tahu kejelasan sebabnya. Sawah dan ladang gagal dipanen, padi-padi yang siap dipanen diserang hama tikus, sayur-sayuran diladang membusuk, ikan ditambak sungai mati. Entah apa yang terjadi pada desa kami, tapi itu baru sebagian musibah didesa kami yang aku ceritakan.

Sebuah Cerita : Surat Terakhir

Disajikan oleh Erwin Jahja


“Kawan aku bingung dengan apa yang terjadi saat ini.”
“Aku tak tau apa keputusanku benar atau salah.”
“Mulai saat ini aku sudah tidak di hutan lagi, kuputuskan kembali ke kehidupan normal tanpa harus bersembunyi dan merasa dikejar-kejar.”
“Aku sudah tak tau tujuan apalagi yang kucari di hutan, kalau hanya untuk dendam, kurasa hal itu tak kan pernah habis, seperti lingkaran setan.”
Itu sepenggal surat terakhir yang kuterima dari Mustori. Mustori temanku di bangku SMA dulu di Banda Aceh. Cukup pintar, tampan, polos dan suka menyendiri.
Aku tak begitu terkejut saat mendengar kabar bahwa Mustori memutuskan untuk bergabung dengan gerakan separatis disana. Dulu, Mustori sering bercerita padaku tentang desanya dan keluarganya di Bireun. Saat DOM bapaknya dijemput tentara malam-malam, dituduh makar, tanpa bisa membela diri. Sampai saat terakhir bapaknya pulang diantar Keucik ( Kepala Desa ) desanya. Dan aku masih ingat bagaimana ekspresi Mustori saat bercerita kalau bapaknya pulang dengan cacat, salah satu bola matanya pecah dihantam popor senapan. Tak lama setelah kejadian itu kakak lelakinya yang dijemput paksa dengan tuduhan menjadi informan GAM dan tak pernah tau bagaimana nasibnya. Wajahnya begitu marah dan geram.