Sebuah Cerita : Surat Terakhir

Disajikan oleh Erwin Jahja


“Kawan aku bingung dengan apa yang terjadi saat ini.”
“Aku tak tau apa keputusanku benar atau salah.”
“Mulai saat ini aku sudah tidak di hutan lagi, kuputuskan kembali ke kehidupan normal tanpa harus bersembunyi dan merasa dikejar-kejar.”
“Aku sudah tak tau tujuan apalagi yang kucari di hutan, kalau hanya untuk dendam, kurasa hal itu tak kan pernah habis, seperti lingkaran setan.”
Itu sepenggal surat terakhir yang kuterima dari Mustori. Mustori temanku di bangku SMA dulu di Banda Aceh. Cukup pintar, tampan, polos dan suka menyendiri.
Aku tak begitu terkejut saat mendengar kabar bahwa Mustori memutuskan untuk bergabung dengan gerakan separatis disana. Dulu, Mustori sering bercerita padaku tentang desanya dan keluarganya di Bireun. Saat DOM bapaknya dijemput tentara malam-malam, dituduh makar, tanpa bisa membela diri. Sampai saat terakhir bapaknya pulang diantar Keucik ( Kepala Desa ) desanya. Dan aku masih ingat bagaimana ekspresi Mustori saat bercerita kalau bapaknya pulang dengan cacat, salah satu bola matanya pecah dihantam popor senapan. Tak lama setelah kejadian itu kakak lelakinya yang dijemput paksa dengan tuduhan menjadi informan GAM dan tak pernah tau bagaimana nasibnya. Wajahnya begitu marah dan geram.
“Kawan aku bingung dengan apa yang terjadi saat ini.”
“Aku tak tau apa keputusanku benar atau salah.”
“Mulai saat ini aku sudah tidak di hutan lagi, kuputuskan kembali ke kehidupan normal tanpa harus bersembunyi dan merasa dikejar-kejar.”
“Aku sudah tak tau tujuan apalagi yang kucari di hutan, kalau hanya untuk dendam, kurasa hal itu tak kan pernah habis, seperti lingkaran setan.”
Itu sepenggal surat terakhir yang kuterima dari Mustori. Mustori temanku di bangku SMA dulu di Banda Aceh. Cukup pintar, tampan, polos dan suka menyendiri.

Aku tak begitu terkejut saat mendengar kabar bahwa Mustori memutuskan untuk bergabung dengan gerakan separatis disana. Dulu, Mustori sering bercerita padaku tentang desanya dan keluarganya di Bireun. Saat DOM bapaknya dijemput tentara malam-malam, dituduh makar, tanpa bisa membela diri. Sampai saat terakhir bapaknya pulang diantar Keucik ( Kepala Desa ) desanya. Dan aku masih ingat bagaimana ekspresi Mustori saat bercerita kalau bapaknya pulang dengan cacat, salah satu bola matanya pecah dihantam popor senapan. Tak lama setelah kejadian itu kakak lelakinya yang dijemput paksa dengan tuduhan menjadi informan GAM dan tak pernah tau bagaimana nasibnya. Wajahnya begitu marah dan geram
Kurasa semua kejadian-kejadian itu menjadi pemicu bagi Mustori untuk memutuskan bergabung dengan GAM. Padahal kurasa pemikiran Mustori itu jauh sekali dari radikal. Dan bisa dibilang pemikirannya sedikit polos, kalau tak bisa dibilang lugu. Lantas aku berfikir akan ada berapa ribu orang Aceh yang seperti Mustori, yang kehilangan orang tua, istri, suami , anak, orang-orang yang dicintai, yang akan bergabung dengan kelompok separatis itu agar dapat membalaskan dendam mereka.
Empat tahun yang lalu aku dapat kabar dari Arifin teman semasa SMA ku juga, kalau Mustori memutuskan bergabung dengan GAM setelah menyelesaikan studynya di Uneversitas Syiah Kuala
“Padahal aku sudah sarankan agar dia ke Jakarta saja, menggunakan ijazah Sarjana Ekonominya,” kata Arifin saat itu.
“Mungkin itu sudah menjadi pilihan hidup Mustori, Fin !”
“Kitakan tak pernah tau apa yang menjadi tujuan dan keinginan Mustori sebenarnya,” sahutku.
Surat pertama kuterima dari Mustori beberapa bulan setelah kunjungan Arifin ke rumahku. Surat itu beralamatkan Banda Aceh dan bernama lain. Entah dari mana Mustori mendapatkan alamatku , kurasa ia mendapatkannya dari Arifin. Dan disuratnya itu aku berfikir kalau Mustori sudah tak lugu dan polos seperti dulu lagi. Disitu tertulis semua ungkapan-ungkapannya yang sangat heroik dan bersemangat. Dia bercita-cita menyelamatkan rakyat Aceh, membebaskan negrinya dari ketidak adilan pemerintah RI. Mengambil kembali kekayaan negrinya yang lari entah kemana. Disurat pertamanya itu tak pernah sekali pun disinggungnya soal dendamnya pada tentara dulu, yang ada hanya perjuangan dan perjuangan.
Aku tak begitu antusias menanggapi tulisannya dan itulah yang kusesali kemudian. Aku membalas suratnya dan cuma bercerita tentang kehidupanku di Jakarta, berbasa-basi menanyakan keadaan keluarganya di sana.
Sejak saat itu, kurasa setiap tiga bulan kuterima surat dari Mustori. Aku mulai memberanikan memberi masukan dan pemikiran-pemikiran padanya soal tujuan dan perjuangannya. Aku sering berdebat dan menentang pemikirannya dan itulah yang kusuka dari Mustori. Dia selalu mencari celah untuk menyanggah semua pendapatku. Aku pun mulai berfikir kalau Mustori sepantasnya tidak berada di hutan bergerilya, tapi menjadi juru diplomasi bagi GAM. Semua jawabannya atas pertanyaan-pertanyaanku dijawab dengan sangat diplomatis. Mungkin karena ia pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
Tak pernah lagi kutemukan disuratnya kata-kata penuh dendam seperti ceritanya waktu SMA dulu. Yang ada hanya pemikirannya tentang perjuangan rakyat Aceh, kemerdekaan rakyat Aceh, kemuliaan bangsa Aceh yang tertindas.
Pernah suatu kali kutanyakan padanya, bagaimana rasanya kalau ia kembali berada diposisi sebagai masyarakat biasa. Yang tertekan diantara pertikaian antara GAM dan pemerintah RI. “Mereka tak tahu harus berpihak kepada siapa, mereka merasa dicekam ketakutan dari kedua belah pihak,” Dan apa yang dijawab Mustori.
“Memperjuangkan sesuatu harus siap menerima kepedihan dan rasa sakit, kawan,” katanya.
“Rakyat Aceh harus sabar, perjuangan itu perlu resiko dan pengorbanan, anggap saja itu sebuah resiko untuk mencapai kemenangan,”katanya lagi.
Dan aku tak tau, apakah itu perjuangan untuk melanggengkan dendam atau perjuangan untuk ketertindasan.
Suatu kali dalam suratnya lagi, Mustori menyindirku dengan pertanyaannya yang enggan untuk kujawab.
“Kau bukan orang Aceh, jadi tak mungkin kau tau bagaimana sakitnya tertindas bertahun-tahun, kau tak merasakan kehilangan kekayaan alam negri ini, kau juga tak merasakan bagaimana rasanya kehilangan orang-orang yang sangat kau cintai.”
Lama tak kubalas suratnya itu. Sedih….kuberfikir, Mustori jika kau tau bagaimana perasaanku tentang Aceh, kau tak mungkin mempertanyakan hal itu. Aceh adalah saudaraku, saudara semua bangsa Indonesia ini. Aku dapat merasakan bagaimana perasaan rakyat Aceh, kawan. Tapi aku cuma tak mau semakin banyak darah tertumpah di negri yang sangat kucintai itu.
Kabar terakhir yang kudengar dari Arifin bahwa Mustori telah menjadi salah satu Panglima Muda GAM di daerah Sigli. Katanya ia cukup disegani dan dipercaya oleh pengikut-pengikutnya disana.
Di salah satu stasiun televisi swasta pernah kutonton ia sedang di wawancara melalui telepon satelit. Aku mendapat kesan kalau Mustori yang sekarang semakin dewasa dalam berpikir dan berwawasan luas. Esoknya kukirim surat ke alamat biasanya. Mencoba mengomentari wawancaranya di televisi itu. Tapi suratku tak pernah berbalas atau tak pernah sampai ketangan Mustori. Aku tak tau.
Sampai enam bulan yang lalu kuterima surat terakhirnya itu. Ia seolah putus asa, sangat bertolak belakang dengan apa yang biasa dikatakanya padaku. Aku sempat bingung dibuatnya. “Ada apa ini ?” pertanyaan itu langsung hinggap dibenakku.
“Sekarang aku sudah tak ingin apa-apa lagi.”
“Yang kumau hanya negri ini tenang, tak ada lagi pertikaian.”
“Aku bosan melihat saudara-saudaraku hilang satu persatu ditembus peluru.’
“Dan yang paling kuingini para pelaku kekerasan saat DOM dulu diadili.”
“Lalu kembalikan kekayaan Aceh untuk negrinya, itu saja, cukup.”
Yah memang dia tak pernah mau mengakui kalau keputusannya bergabung dengan GAM dulu lebih banyak dilandasi oleh dendam. Tapi sepenggal kalimatnya t’lah menjelaskan semuanya.
Terimakasih ya Allah, Engkau telah mengembalikan sahabatku, telah membebaskannya dari lingkaran dendam yang tak kan pernah usai

###################
Pagi 26 Desember 2004, aku dikejutkan oleh bencana Maha Dahsyat, gelombang Tsunami telah memporak-porandakan Aceh. Menggigil seluruh tubuhku, shock, aku tak bisa berkata apa-apa.
Sempat kutanyakan kepada Tuhan, mengapa………mengapa harus Aceh ? Kenapa ? Kenapa bukan kami disini ? Yang banyak melakukan kemungkaran kepada Mu. Oh, Tuhan bagaimana saudara-saudara kami disana ? Aku menangis mencari jawabnya……..
Ku coba untuk bijak….. Tuhan terlalu menyayangi mereka. Sang Khalik tak mau rakyat Aceh terjepit terus ditengah pertikaiannya, maka dengan Kebesaran Nya semua saudara-saudara kami dijemput dan ditempatkan ketempat yang lebih baik disisi Nya.
Dan sampai saat cerita ini kutulis , aku tak pernah tahu Mustori berada dimana……….


Ku dedikasikan untuk Yossi, Firman, Masri, Sri Astuti, Mustapa, Rayhan, Irwan, dan semua sahabatku di NAD yang tak bisa kusebutkan satu persatu.

This entry was posted on Rabu, Februari 17, 2010 and is filed under .