Untung Soe Hok Gie Mati Muda

Disajikan oleh Erwin Jahja


Ya, beruntunglah Soe Hok Gie mati muda, mati di usia 27 tahun kurang satu hari. Soe Hok Gie meninggal pada 16 Desember 1969 dalam dekapan puncak Semeru. Kematian Sang Demonstran ini menjelaskan bahwa ternyata alam lebih mencintai dia dibanding kekuasaan. Ya, beruntunglah dia sang pendobrak kekuasaan absolute Soekarno ini tak terkontaminasi oleh kekuasaan, alam lebih menyayangi dirinya. Meski dirinya adalah salah satu pelopor yang mendorong runtuhnya Orde Lama dan berdirinya Orde Baru, tapi dia tak pernah lupa untuk kritis pada Orde Baru, tak pernah tercemar oleh kekuasaan Orde Baru.

Soe Hok Gie kritis terhadap Soekarno ketika melihat kecenderungan otoriter pada dirinya kala Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden, ketika Soekarno mulai tidak demokratis dengan membubarkan partai politik, ketika Soekarno memenjarakan lawan-lawan politiknya, ketika Soekano tidak berhasil dalam pembangunan ekonomi. Maka jadilah ia kaum intelektual yang terdepan menentang Soekarno hingga kejatuhan Pemimpin besar Revolusi itu.

Dia, Sang Demonstran yang mendorong berdirinya Orde Baru tapi dia menolak untuk bergabung dalam lingkar kekuasaan. Dia menolak menikmati meski hal itu mudah baginya jika hanya ingin mendapat kemewahan dan nikmatnya kursi empuk kekuasaan. Ketika pemerintahan Soeharto mebiarkan terjadinya pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dianggap dan dituduh PKI, Soe Hok Gie lah yang bersuara paling lantang menentang pembantaian itu. Tulisan dan kalimat-kalimatnya tetap pedas, seperti dulu zaman Soekarno, ketika melihat Soeharto mulai membangun ekonomi dengan utang yang dahsyat kepada Amerika. Begitu juga amarahnya yang meluap ketika melihat Soeharto tak membersihkan korupsi di tubuh Pertamina.

Beruntunglah dia mati muda, dia yang tak pernah terkontaminasi kekuasaan. Beruntunglah dia, hingga tak perlu bersusah payah lagi meneriaki teman-teman seperjuangannya yang menikmati kursi empuk parlemen hingga menteri. Meski dulu dia pernah mengirimkan pemoles bibir, bedak dan cermin sebagai hadiah lebaran dan natal bagi 13 orang kawannya yang duduk di DPR-GR bentukan Soeharto.

Tentu kita masih ingat siapa-siapa eksponen “66” yang menikmati kursi-kursi kekuasaan hadiah Soeharto untuk mahasiswa itu. Bahkan sampai sekarang orang-orang itu masih berperan penting dalam peta politik Indonesia yang kacau balau ini. Tentu kita masih ingat dan tahu siapa-siapa mereka itu. Tak terbayang bagaimana sakitnya Soe Hok Gie jika sampai hari ini dia masih hidup dan melihat hal ini terjadi begitu saja di depan hidungnya.

Dan ingatlah, sejarah itu pasti berulang dan berulang lagi. Tentu kita tidak lupa pada mereka para pemberontak “98” itu. Sebagian dari mereka kini menikmati hasil “perjuangan” di jalan ketika meruntuhkan rezim Soeharto, kini mereka menikmati empuknya kursi kekuasaan. Sementara sebagian lain yang mengambil jalan seperti Soe Hok Gie paling-paling hanya menjadi penulis, jurnalis atau pun aktivis LSM.

Lihatlah bung satu itu yang kini menduduki posisi penting di partai berkuasa, sepertinya dia sudah mulai lupa bagaimana rasanya berada di luar kekuasaan. Dia lupa akan teriakannya dulu tentang pemberantasan korupsi, menciptakan penegak hukum yang benar, pemilu yang jujur dan rakyat-rakyat yang kelaparan. Dia lupa bagaimana dulu dia tampil di televisi mengkritisi kekuasaan, sementara sekarang dia tampil di televisi membawa kepentingan penguasa yang belum tentu benar. Mari kita tanyakan padanya, apakah senjata itu telah memakan tuannya sendiri.

Selain bung satu itu, masih ingatkah kita pada kawan kita yang sekarang dengan manisnya duduk dalam ring satu kekuasaan, menjadi staf antah berantah yang kemudian sering berakrobat mencari-cari kesalahan lawan-lawan politik sang penguasa. Mungkin dia lupa bagaimana rasanya dulu penguasa mencari-cari kesalahan dirinya lalu dibungkam, dia sudah lupa.

Kemudian ada yang menjadi politisi Senayan dengan sokongan partai pimpinan musuhnya dulu, entah apa julukan yang pantas diberikan kepada orang seperti ini. Lalu tidak sedikit yang duduk di parlemen, kemudian tidak menjadi wakil rakyat tapi menjadi pembela kepentingan partai, kepentingan penguasa atau membuncitkan perut sendiri. Dan tentu tidak ketinggalan beberapa lainnya mengambil posisi sebagai tukang demonstran partai dan pembela kepentingan pengusaha.

Ingin bertanya kepada mereka ketika uang-uang rakyat dirampok terang-terangan, bertanya kenapa mereka di parlemen sana mengebu-gebu mengajukan dana aspirasi perutnya, bertanya kemana mereka ketika hukum dikangkangi penegak hukum sendiri, bertanya tentang kekuasaan yang dibela membabi-buta.

Untung Soe hok Gie mati muda, kalau tidak tentu dia akan menangis dua kali melihat sejarah kembali terulang. Setelah kawan-kawan “66” nya mengkhianati perjuangan, kemudian adik-adik “98” nya dengan sempurna meniru lagak dan laku mereka.

“Biarlah mereka yang ingin dapat mobil, mendapatnya.

Biarlah mereka yang ingin dapat rumah, mengambilnya.

Dan datanglah kau manusia-manusia.

Yang dahulu menolak, karena takut ataupun ragu.

Dan kita, para pejuang lama.

Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai.”

(Soe Hok Gie)

10 Juni 2010

source pic: googling

This entry was posted on Kamis, Juni 10, 2010 and is filed under , .