Patih Laman, Pejuang Lingkungan Yang Dimatikan

Disajikan oleh Erwin Jahja


Dia lelaki tua berumur 89 tahun. Dia ketua adat tertinggi suku Talang Mamak, suku Melayu Tua yang bermukim di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Riau. Dia sang penjaga hutan, penjaga Tanah Keramat Rimba Puaka suku Talang Mamak. Dan dia lah penerima Kalpataru, penghargaan tertinggi bidang lingkungan hidup, dari Presiden Republik ini tahun 2003. Patih Laman namanya.

Sang Patih ini juga telah menerima penghargaan dari dunia internasional, imbalan dari sikap konsistennya menjaga hutan, tahun 1999 WWF Internasional memberinya Award di Kinabalu Malaysia. Sejak lama dia telah membusungkan dada dan menyingsingkan lengan bajunya untuk kelestarian hutan. Dia rela mempertaruhkan nyawa demi menjaga hutan alam suku Talang Mamak, sang patih gagah berani menghadang penghancuran hutan disana. Dan memang sepantasnya lah dia mendapatkan penghargaan-penghargaan itu.

Tapi, baginya menjaga kelestarian hutan dan segala isinya demi kelangsungan hidup lebih dari segala award-award semu itu. Apalah arti sebuah Kalpataru jika hutan masih terus-menerus dijarah. Pemerintah pusat dan daerah hanya berdiam ketika raungan chainsaw dan deru mesin-mesin buldozer merubah hutan-hutan mereka menjadi kebun kelapa sawit. Bukan penghargaan dan ribuan puja-puji yang diinginkannya, tapi konsistensi pemerintah menjaga hutan agar anak cucu tetap hidup selaras dengan alam yang dimau. Tapi itu tak didapatnya, jawaban dari Kalpataru adalah pembukaan hutan-hutan Talang Mamak demi kepentingan penguasa dan pengusaha. Atau mungkin mereka berpikir dengan Kalpataru ini sang patih dapat dibungkam, dihentikan dan melupakan perjuangannya.

Dulu, dia juga telah mengadukan hal ini ke pemerintah kabupaten Indragiri Hulu dan pemerintah propinsi Riau, tapi Rimba Puaka itu tetap saja dijarah. Tak ada konsistensi penguasa untuk menjaga alam. Penghancuran hutan ini pasti dan terus menerus menghabisi suku Talang Mamak, menghancurkan ekologi alam dan memancing alam untuk murka memberi bencana. Suku Talang Mamak jelas dirugikan dengan penghancuran ini. Kebutuhan mereka akan alam tak bisa dipahami oleh orang-orang modern yang hanya memikirkan keuntungan materi tanpa memikirkan keseimbangan alam. Patih Laman hanya dapat melihat kehancuran hutannya, hukum adat bagi perusak hutan yang terapkan sebanyak 4 tahil atau Rp.6juta tak ada artinya karena sanksi hanya dihormati penduduk asli.

Ribuan hektare hutan alam sudah porak-poranda karena illegal loging, perambahan hutan dan perusahaan-perusahaan perkebunan disana. Ketika alat-alat berat itu menerobos kawasan hutan adat Rimba Puaka Penyabungan dan Panguanan pada November tahun lalu, sang Patih seorang diri bertahan menentang para perusak itu. Dia berjaga siang-malam dan mendirikan pondok di kawasan hutan tersebut. Tak terbayangkan seorang renta usia hampir seabad dengan gagah menentang uang dan kuasa orang-orang serakah itu, meski nyawa tuanya menjadi taruhan. Tapi apalah arti perjuangan seorang tua seperti Laman ketika berhadapan dengan penguasa dan pengusaha.

Akhirnya, sang Patih tak mampu lagi menahan kegusaran hatinya. Sia-sia usahanya menjaga hutan, membela suku adatnya, memelihara alam agar tetap menyayangi manusia, bagai menggantang asap. Dia tak butuh Kalpataru dan piala itu akan dikembalikan kepada Presiden SBY. Namun Laman tak punya uang untuk bertemu Presiden dan diambillah keputusan untuk menitipkan Kalpataru ini pada Gubernur Riau, Rusli Zainal. Februari lalu patih Laman berangkat ke Pekanbaru, ibukota propinsi itu berjarak 250km dari hutannya. Tragisnya, sang Gubernur tak ada ditempat. Beberapa hari sang patih bertahan di kota itu, sang Gubernur tidak juga datang. Patih Laman tak punya uang cukup untuk tetap bertahan menunggu sang Gubernur. Kembalilah dia kehutannya dengan membawa Kalpataru itu. Suatu saat piala itu akan dikembalikannya seperti harapannya agar pemerintah mengembalikan hutannya.

“Biarlah saya kembalikan penghargaan ini pada pemerintah agar pemerintah mengembalikan pula hutan kami,” ujarnya lirih.

Tuan Presiden, anda baru kembali dari Oslo membahas kerja sama pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, juga menghadiri Konferensi Perubahan Iklim dan Hutan disana. Lihatlah tuan, sebelum perjanjian-perjanjian dan konferensi-konferensi antah berantah ini jauh di pedalaman hutan Sumatera sana seorang tua berusia hampir satu abad telah memperjuangkannya. Bantu dia tuan Presiden.

Patih Laman, inilah gambaran pejuang lingkungan sebenar-benarnya yang memiriskan hati.

31 Mei 2010

source foto: Fb Anggoro. www.antara-riau.com

This entry was posted on Jumat, Juni 04, 2010 and is filed under .