Hatta, Habibie dan Hatoyama

Disajikan oleh Erwin Jahja


Beberapa hari lalu Perdana Menteri Jepang Hatoyama mengundurkan diri karena tidak mampu memenuhi janji-janjinya. Lantas langsung terpkir olehku, bagaimana dengan pemimpin negeri ini, apakah ada yang berani mengundurkan diri seperti Hatoyama. Aku berpikir keras untuk mencari jawabannya. Lama berpikir akhirnya kutemukan, dan ternyata mereka punya kemiripan. Nama ketiganya berawalan dua huruf yang sama H dan A.

Tapi persamaan yang paling mendasar dari mereka bukan soal nama. Persamaan itu adalah tentang prinsip, idealisme, tanggungjawab moral dan perasaan malu kepada rakyat yang dipimpinnya. Ini membuat mereka akan dikenang oleh sejarah, ya dikenang sejarah sebagai pemimpin yang memiliki tanggungjawab moral dan rasa malu pada rakyatnya.

Mereka mundur dari jabatannya ketika tanggungjawab moral tidak lagi mampu terpikul dipundak. Mereka mundur bukan karena didasari sakit hati. Mereka mundur karena mereka memiliki prinsip dan idealisme, dua kata yang terasa aneh ditelinga para politikus negeri ini. Prinsip, idealisme milik Hatta, Habibie dan Hatoyama adalah makhluk langka disini. Yang ada pada politikus negeri ini; prinsip itu pada prinsipnya ya tanpa prinsip. Idealisme itu adalah, rumah mewah yang ideal, mobil mewah ideal dan jabatan yang ideal.

Lihatlah Hatoyama, dia mengundurkan diri sebagai Menteri Pertama Kekaisaran Jepang karena merasa tak mampu memenuhi janji-janji kampanyenya. Kegagalan memenuhi janji untuk memindahkan pangkalan udara marinir Amerika, Futenma dari Okinawa menjadi alasan pengunduran dirinya. Alasan lainnya, karena dirongrong oleh tuduhan skandal penyelewengan dana politik yang melibatkan dirinya. Sebenarnya untuk pemindahan pangkalan militer AS Futenma itu Hatoyama telah melakukan pendekatan pada masyarakatnya di Okinawa, tapi perundingan-perundingan dan tekanan AS membuat Hatoyama tak mampu memenuhi janji kampanyenya. Akhirnya sang Perdana Menteri mengambil keputusan untuk mundur meski dirinya baru menjabat selama sembilan bulan. Keberanian dan ketetapan hati dalam memenuhi komitmen, ternyata itu dimilikinya walau tak mampu diwujudkannya.

Bagaimana dengan Habibie? Bukankah dia menolak untuk dicalonkan kembali sebagai Presiden RI setelah laporan pertanggungjawabannya pada Sidang Umum MPR 1999 ditolak. Sebuah konsekwensi tanggungjawab moral seorang Habibie. Padahal kebijakan-kebijakan Habibie kala itu adalah tonggak demokrasi yang tidak sepantasnya untuk ditolak oleh MPR/DPR produk Orde Baru itu. Hanya karena dia dicap sebagai murid Soeharto lantas berbondonglah anggota MPR/DPR itu menolak laporannya.

Apa yang dilakukan Habibie kala itu adalah apa yang kita nikmati saat ini. Kebebasan berbicara, kebebasan pers, membebaskan tapol-napol, independensi BI, menekan nilai tukar rupiah yang anjlok dan yang paripurna adalah menyelenggarakan pemilu paling jurdil setelah pemilu 1955. Dengan pertimbangan-pertimbangan itu apakah pantas laporan pertanggungjawabannya ditolak. Sebagian orang pasti akan menyebut tentang Timor-timor, namun sebenarnya Habibie lah yang telah membebaskan kita dari tekanan Internasional dan membersihkan nama Indonesia dari tuduhan pelanggaran HAM disana. Ancaman disitegrasi bangsa dapat dilalui, masa transisi teratasi dibawah kendali Habibie selama 17 bulan pemerintahannya. Tapi semua hilang begitu saja ketika laporan pertanggungjawabannya ditolak. Habibie pun menolak dicalonkan kembali dan Indonesia pun kehilangan kesempatan mendapat seorang pemimpin yang hebat ini.

Lalu Hatta, bicara tentang bung satu ini adalah bicara tentang kejujuran, kepolosan dan dedikasi kepemimpinan. 1 Desember 1956 Hatta memastikan mundur dari kursi Wakil Presiden setelah dirinya merasa bahwa jabatannya tak mampu merubah keadaan. Hatta mundur ketika melihat Soekarno mulai menujukan diri ke arah otoritarian. Ini adalah refleksi kekecewaannya melihat perkembangan politik yang mengarah pada kemunduran pelaksanaan demokrasi. Keputusan ini diambilnya bukan karena sakit hati tidak mendapat kekuasaan selayaknya. Niatnya mundur bahkan disampaikan setahun sebelumnya, tapi tanggungjawab menyelenggarakan pemilu tahun 1955 membuatnya bertahan. Setelah parlemen dan konstituante dilantik, Hatta kemudian memenuhi janjinya. Setelah tidak berada di pusat kekuasaan, Hatta menjadi lebih bebas untuk mengkritik pemerintah dengan kritik-krirtik yang konstruktif. Hatta mengkritik pemerintah tidak dengan mobilisasi massa, tidak dengan memberontak, tidak dengan memprovokasi. Hatta mengajari rakyatnya untuk berpikir rasional mengkritisi pemerintah.

Kekuasaan dan harta bukan menjadi tujuan hidup Hatta, padahal setelah dia mundur banyak perusahaan Belanda meminta dirinya untuk menjadi komisaris. Bahkan World Bank pernah menawarkan kedudukan pada begawan ekonomi kita ini, tapi ditolak oleh Hatta. Penolakan itu pernah mengecewakan anak bungsunya Halida, karena dia ingin kuliah ke luar negeri tapi keinginan ini tertunda karena Hatta menolak posisi yang ditawarkan World Bank. Alasannya sederhana, “Apa kata rakyat nanti.”

Pertanyaannya, ketika para politikus (aku tak ingin menyebut mereka pemimpin) kita sekarang ini jungkir balik berakrobat mempertontonkan drama-drama politik yang tidak lucu, apakah dibenak mereka terpikirkan kata-kata bung Hatta itu?

Jakarta 4 Juni 2010

This entry was posted on Jumat, Juni 04, 2010 and is filed under , , .