Jangan Tiru Westerling Pak Polisi

Disajikan oleh Erwin Jahja


Westerling, 60 tahun setelah petualangan pemberontakan yang dilakukannya dengan pasukan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) nya itu, mendengar namanya saja sudah masih membuat bergidik. Bahkan jika ada kekejaman yang terjadi di negeri ini, orang-orang akan menyebutnya kejam seperti Westerling. Pembantaian ribuan jiwa rakyat Indonesia yang dilakukannya di Sulawesi Selatan tahun 1946 menjadi sejarah kelam bangsa ini. Aksi yang disebutnya sebagai “Mahkamah Militer Rakyat” dimana dirinya bisa mengadili siapa saja yang dianggapnya bersalah. Tak perlu pengadilan, tak perlu hakim, yang dibutuhkan hanya peluru sesuai keinginan kehendak hatinya saja.

Dia seorang penembak jitu, dia bisa menembak kepala para pejuang dari jarak 20-30 meter dari atas jeepnya. Si kejam ini juga bisa dengan santainya menembak kepala seseorang yang dianggapnya mata-mata dalam kerumunan orang-orang, tanpa berkedip. Sungguh manusia macam apa yang dapat melakukan semua itu, sampai-sampai julukan “Master Killer” disematkan padanya.

Setelah peristiwa itu, Raymond Paul Pierre Westerling yang ternyata adalah orang Belanda kelahiran Turki itu masih saja meneruskan petualangannya membantai pejuang dan rakyat Indonesia. APRA dan Westerling membuat kekacauan di Bandung pada 23 januari 1950, hingga republik ini menjadi goncang. Ulahnya ini mengakibatkan 61 orang anggota TNI dan 6 warga sipil tewas, sementara 16 orang lainnya tidak diketahui identitasnya. Meski akhirnya kisah petualangan Westerling bisa ditumpas oleh tentara republik namun korban jiwa sudah terlanjur jatuh.

Coba bayangkan jika pemberontakan mantan komandan pasukan khusus Belanda ini berhasil menguasai Bandung dan Jakarta. Tentu pemerintahan akan jatuh dan secara langsung dia akan menguasai negeri ini. Tak terbayang bagaimana dia menerapkan hukum dengan tanpa hukum. Hukum adalah apa yang ada dibenaknya, hukum baginya adalah dirinya sendiri. Berapa banyak korban lagi yang akan jatuh di tangannya. Dia akan menjadi hakim, jaksa sekaligus polisi di jalanan bagi orang-orang yang menentangnya.

Namun yang menyedihkan, meski pemberontakan Westerling itu gagal namun sang jagal itu tak pernah diadili hingga akhir hayatnya. Pemimpin Belanda dan Indonesia sengaja membiarkan Westerling menghilang dari Indonesia agar perundingan KMB di Den Haag tidak terganggu. Padahal, apapun alasannya, kejahatan perang tetap harus diadili. Tapi ada kompromi politis disini demi kepentingan diplomatis kedua negara. Dan hingga kematiannya di usia 68 tahun, Westerling tak pernah diadili sebagai penjahat perang atas kejahatannya di Sulawesi Selatan dan Bandung.

Baiklah, kenapa disini kita membahas Westerling panjang lebar. Jawabannya adalah kejadian bentrok antara aparat Polres Kuantan Sengingi dengan warga Desa Koto Cengar, Kuantan Mudik, Kuansing, Riau pada Selasa (8/6/2010) kemarin. Kejadian ini menginspirasi untuk menceritakan kembali kisah Westerling agar tidak ditiru oleh aparat kita. Bentrok antara warga dan aparat kepolisian ini terjadi ketika warga menuntut hak atas tanah yang dipakai PT Tri Bakti Sarimas untuk penanaman sawit, namun perusahaan itu berlaku curang. Kemudian warga, tua-muda turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi yang berujung bentrok dengan aparat.

Seperti dilansir Tribunnews.com, akibat bentrok itu dua orang warga tewas tertembak. Yuniar (45), wanita setengah baya ini tewas setelah tertembus peluru di dadanya dan Disman (45) terkena di perutnya. Disman sempat kritis dan dirawat di rumah sakit terdekat. Kepala Polres Kuantan Singingi, Ajun Komisaris Besar Polisi RA Kasenda berdalih, polisi terpaksa menembak karena warga menyerang terlebih dahulu. Polisi telah melakukan tembakan peringatan namun warga tetap melawan. “Jumlah warga mencapai 500 orang dan kebanyakan membawa senjata tajam, sementara jumlah polisi cuma 200 orang,” alasan Kasenda. Namun berdasarkan versi warga, polisi jelas-jelas memihak PT.TBS. Justru polisi yang memprovokasi warga agar terjadi kerusuhan. Syamsir, salah seorang warga mengungkapkan, polisi menembak dengan cara membabi buta.

Apapun itu, menembak warga apalagi seorang wanita sungguh perbuatan yang tidak masuk akal. Bukankah polisi masih bisa membubarkan massa dengan gas airmata, peluru hampa, peluru karet ataupun water cannon. Menjadi pertanyaan kita disini, apakah yang mereka lakukan di lapangan itu sudah sesuai prosedur yang berlaku.

Kita tidak ingin polisi dapat begitu saja menjadi hakim ketika menghadapi demonstrasi massa. Jika warga bersalah, hukum mereka tapi lakukan dengan pengadilan, bukan dengan cara-cara yang mempertontonkan kekerasan. Jangan tiru Westerling yang bisa dengan mudah menghakimi orang seenaknya di jalanan tanpa pengadilan.

Kaji ulang kenapa mereka melakukan demonstrasi, dan kenapa mereka melakukan tindakan yang dianggap anarki. Apa sebabnya masyarakat melakukaan itu. Tentu jika keadilan mereka dapatkan mereka tidak akan turun kejalan, mereka tidak akan melakukan pengrusakan. Seharusnya polisi lebih dulu proaktif mengusut perusahaan yang berlaku curang itu sebelum menjadi bom waktu amuk massa. Carilah sebabnya, dan jangan sekali-kali menyalahkan akibat.

Dan tugas anda sekarang bapak-bapak para komandan polisi yang terhormat, tangkap dan adili anggota anda yang terbukti melakukan penembakan itu, jangan ditutup-tutupi dan jangan dibela bila memang bersalah. Kemudian akan lebih terhormat, bapak-bapak komandan ini mengundurkan diri karena tidak mampu mengontrol anak buah, itu akan lebih ksatria, beranikah anda. Anda tentu tidak ingin disamakan dengan Westerling yang sampai akhir hayatnya tak pernah diadili setelah membunuh orang-orang yang tak bersalah itu, bukan.

10 Juni 2010

This entry was posted on Rabu, Juni 16, 2010 and is filed under .