Jakarta, Selamat Untuk Ulang Tahunmu dan Kebhinekaan Betawimu

Disajikan oleh Erwin Jahja


Agaknya semboyan Bhineka Tunggal Ika Indonesia dalam arti sesungguhnya telah teraplikasi sejak awal abad ke-18, dan kebhinekaan itu bernama Betawi. Perwujudan kebhinekaan dan percampuran adat budaya berbagai suku bangsa ini terkumpul menjadi satu dan menjelma menjadi sebuah etnis baru bernama Betawi. Suku Betawi adalah aplikasi dalam arti sesungguhnya tentang Bhineka Tunggal Ika yang menjadi semboyan negeri ini. Etnis Betawi tercipta dari berbagai ragam adat-istiadat, budaya berbagai suku bangsa Indonesia. Bagaimana ini bisa bermula dapat diketahui dari cerita sejarah tentang Jayakarta dan Batavia. Bermula dari penguasaan Sunda kelapa oleh pasukan Fatahillah pada 1527 hingga dikuasainya Jayakarta oleh JP Coen pada 1619 dan kemudian mengganti namanya menjadi Batavia.

Awal abad ke-17 wilayah kekuasaan antara Banten dan Batavia dibatasi dengan batasan geografis Kali Angke dan Cisadane yang kemudian menjadi tembok benteng kota Batavia. Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong karena gerilya pasukan Banten dan prajurit Mataram yang tersisa. Lalu diadakan perjanjian antara Kompeni dengan Banten dan Mataram yang menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum sebagai wilayah kompeni. Kemudian pada akhir abad ke-17 barulah daerah Batavia mulai dihuni lagi. Para perantau Tionghua, Arab, Moor (India) mulai berdatangan bercampur dengan masyarakat suku Jawa, Sunda, Bali, Bugis, Melayu dan lainnya yang sebelumnya telah lebih dulu menghuni Batavia. Dari sinilah metamorfosis pembauran kebudayaan dimulai.

Yasmine Zaki Shahab, seorang antropolog dari Universitas indonesia menaksir bahwa etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Etnis baru ini terbentuk dari pembauran beragam kebudayaan berbagai suku-bangsa. Perkiraan ini didasarkan dari studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Casle. Penelitian sejarah itu menyebutkan bahwa pemerintah kolonial Belanda selalu melakukan sensus penduduk sejak 1615 hingga 1815. Sensus dilakukan dengan mengkategorikan penduduk berdasarkan suku-bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk di Batavia itu, tercatat penduduk dari berbagai golongan etnis, namun tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi. Kemudian pada hasil sensus tahun 1893 sejumlah etnis yang sebelumnya ada, seperti orang Jawa, Sunda, Arab, Moors, Bugis, Sumbawa dan Melayu, tidak tercatat. Kemungkinan telah terjadi pembauran sejak pertengahan abad ke 18. Barulah pada sensus penduduk tahun 1930 ditemukan adanya kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah muncul dalam sensus-sensus terdahulu. Tahun itu jumlah orang Betawi tercatat sebanyak 778.953 jiwa, jumlah itu menjadi jumlah mayoritas penduduk Batavia kala itu.

Sebenarnya, sebelum sensus tahun 1930 itu telah ada pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok. Pengakuan itu muncul pada tahun 1923, saat Moh Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Sejak itulah segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan dan sebagai satuan sosial dan politik. Selain bukti dari sumber-sumber sejarah itu, bukti konkrit Bhineka Tunggal Ika yang teraplikasi dengan indah dalam etnis Betawi dapat dilihat dari ragam kesenian, kuliner dan adat-istiadat suku Betawi.

Salah satu contoh kesenian adalah Gambang Kromong, kesenian ini tercipta ketika orang-orang Tionghoa peranakan sudah semakin banyak di kota ini. Di waktu senggang mereka memainkan lagu-lagu Tionghoa dari kampung halaman moyang mereka di Cina dengan instrumen gesek Tionghoa su-kong, the-hian, dan kong-a-hian, bangsing (suling), kecrèk, dan ningning, dipadukan dengan gambang. Pada perkembangan selanjutnya, sekitar tahun 1880-an barulah orkestra gambang ditambah dengan kromong, kendang, kempul, goong, kecrek. Dan terciptalah gambang kromong.

Banyak lagi kearifan lokal suku Betawi yang menjadi bukti pembauran dari berbagai suku-bangsa di negeri ini. Lihatlah tradisi Palang Pintu dalam moment pernikahan suku Betawi, tradisi ini ternyata sama dan identik dengan tradisi adat suku Minangkabau dan Melayu ketika menerima menantu laki-laki. Contoh lain adalah tari Cokek yang mirip dengan tari Tayub dari Jawa Tengah, Tanjidor diadopsi dari budaya Eropa, bahkan wayangpun ada, wayang kulit Betawi menggunakan bahasa dialek Melayu Betawi. Jika kita bicara tentang kuliner Betawi, tak akan bisa kita lepaskan dari kenikmatan berbagai masakan Nusantara yang berbaur menjadi satu di dalamnya. Kita bisa lihat mulai dari Sop Kambing Betawi, diadopsi dari masakan Arab dan India, kue Cucur sama persis dengan kue Pinyaram dari Sumatera Barat, olahan sayur Pange’ yang juga ada di daerah perbatasan Riau-Jambi-Sumbar, dan masih banyak lagi contoh lainnya. Itulah bukti-bukti konkrit tentang persatuan yang terwujud dalam sebuah kesatuan geografis yang kini bernama Jakarta.

Jayakarta, Batavia dan Jakarta adalah tiga nama untuk sebuah kota tempat dimana pembauran kebhinekaan ini terjadi, kota yang menjadi saksi persatuan dan kesatuan suku-bangsa Nusantara. Tempat dimana seharusnya persatuan kebangsaan negeri ini menjadi contoh dengan melihat betapa kayanya budaya dan kearifan lokal suku Betawi.

Melihat ini semua, adakah kita mempunyai malu ketika saat ini kita masih berdebat, saling serang atas nama kesukuan, mengkotak-kotakan golongan berdasarkan suku sementara para pendahulu kita telah memberikan contoh betapa indahnya hidup dalam pembauran. Pembauran yang bahkan menciptakan sebuah kekayaan budaya sedemikian indah. Kebhinekaan yang bersatu ini ternyata sudah diaplikasikan oleh kakek-buyut kita jauh sebelum Indonesia merdeka.

Jayakarta, Batavia dan Jakarta, tiga nama untuk kota yang pada tanggal 22 Juni besok berusia 483 tahun. Kota dimana mimpi-mimpi Indonesia dijual dan terjual. Kota dimana keberagaman suku-bangsa di negeri ini dulu pernah dipersatukan.

Selamat Ulang Tahun Jakarta.

21 Juni 2010

source picture: google search engine

This entry was posted on Senin, Juni 21, 2010 and is filed under , .