Sepakbola Pragmatis ala Demokrat

Disajikan oleh Erwin Jahja


Entah penting, entah tidak tulisan ini ditulis tapi sejujurnya aku tergelitik juga untuk menulis tulisan ini. Ketika membaca ungkapan Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum tentang duet mautnya dengan sang Sekjen termuda itu tangan ini mulai gatal untuk menulis, entah penting entah tidak. Duet maut yang diungkapkan Anas kemarin bisa jadi hanya kebetulan saja karena bertepatan momentnya dengan gemuruh event olahraga akbar itu. Tapi menurutku apa yang diungkapkan Anas itu sangat-sangat benar, cocok sekali, pas, mantab. Percayalah, strategi yang diterapkan oleh seorang Anas dan Demokrat memang cocok dengan perkembangan sepakbola dunia terkini.

Tentu saja kecocokan ini hanya sebuah kebetulan yang memang sengaja aku cocok-cocokan ketika melihat para pengamat sepakbola dunia mulai memperhatikan tentang permainan sepakbola pragmatis. Bagaimana khawatirnya mereka ketika permainan sepakbola pragmatis mulai menunjukan arah dominasi. Dominasi ini kemudian memunculkan kekhawatiran hilangnya keindahan seni sepakbola, mengingat gaya pragmatis ini lebih mengutamakan hasil akhir dari pada bagaimana proses menuju hasil akhir itu berlangsung.

Lihatlah bagaimana keindahan seni bersepakbola yang disuguhkan Barcelona bertekuk lutut dihadapan gaya permainan pragmatis Inter Milan pada semifinal liga Champion kemarin itu. Kemudian kekalahan Spanyol ketika melawan Swiss beberapa hari yang lalu, menunjukan bahwa sepakbola pragmatis memang efektif meski tak enak dilihat. Lalu tak bisa kita lupakan juga hilangnya sihir dan tarian tim Samba ketika menghadapi Korea Utara. Padahal sebenarnya urusan menang-kalah dalam sepakbola itu urusan nomer dua (kecuali bagi para penjudi), yang diinginkan adalah bagaimana indahnya proses itu berlangsung selama 90 menit pertandingan. Bagaimana indahnya melihat seniman-seniman sepakbola itu menari-nari di tengah lapangan, berstrategi dan berkeringat.

Lalu apa urusannya menghubung-hubungkan sepakbola pragmatis dengan Demokrat? Tentu saja ada, apalagi Anas Urbaningrum menyebut duet dirinya dengan Edhi Baskoro itu seumpama duet maut dalam piala dunia. Nampaknya Demokrat mengadopsi strategi sepakbola bergaya pragmatis ini, jelas terlihat dengan didudukannya Edhi Baskoro sebagai Sekertaris Jendral partai pemenang pemilu itu. Tidak ada yang salah dengan posisinya itu, toh para politisi Demokrat sudah menjelaskan bahwa Edhi itu mempunyai kapabilitas dan kompetensi untuk jabatan itu, bukan karena dia seorang penyandang nama Yudhoyono. Tapi apa iya semua orang mengamini begitu saja.

Sejujurnya aku bukan penggemar partai Demokrat, bukan juga penggemar partai-partai lain yang menurutku sama saja sikap pragmatisnya. Tapi melihat posisi penting yang diemban Edhi Baskoro itu paling tidak, aku sebagai penggemar dan penikmat seni berpolitik jadi tergelitik untuk menanggapi. Alangkah indahnya jika Demokrat tidak terburu-buru menempatkan Edhi di posisi itu dengan membiarkannya berproses terlebih dahulu. Ya, biarkan dia berproses dan bermetamorfosis menjadi politikus handal terlebih dulu untuk kemudian maju ke depan meraup kepercayaan publik tanpa modal citra orang tua. Yang ada sekarang tentu orang-orang akan berfikir sebaliknya, apalagi melihat Edhi belum pernah menunjukan diri bagaimana menjadi politikus handal dengan argumen-argumen cerdas tampil di depan publik.

Melihat ini, kemudian aku berpikir jika Demokrat lebih mengutamakan hasil akhir dari pada menunjukkan kepada masyarakat bagaimana indahnya seni berpolitik. Tak ada masalah untuk hasil akhir itu, toh tujuannya untuk kemenangan, mungkin demikian Demokrat. Namun menjadi pertanyaan untuk siapakah kemenangan itu. Bila gaya pragmatis Demokrat ini ditujukan untuk mencapai kemenangan demi kemaslahatan masyarakat, okelah. Tapi jika tujuan kemenangan hanya untuk melanggengkan kekuasaan terus-menerus, entahlah.

Ya, tentu sama saja dengan gaya permainan sepakbola pragmatis yang melupakan keindahan seni sepakbola demi tujuan kemenangan, tak pentinglah proses asalkan tujuan kemenangan tercapai. Sebagai penggemar sepakbola indah tentu aku kecewa. Kecewa karena tidak ada lagi rasa was-was, luapan emosi dan adrenaline yang terpacu ketika menonton jalannya proses itu.

Seyogyanya bersepakbola itu sama dengan berpolitik, ya berpolitik dengan proses dan berpolitik dengan ideologi. Lihat saja bagaimana Brazil perlahan mulai meninggalkan ideologi tarian Samba kemudian lebih memilih gaya pragmatis, perlahan juga para penggemarnya mulai meninggalkannya.

18 Juni 2010

Source picture: Google Search Engine

This entry was posted on Rabu, Juni 23, 2010 and is filed under .