Bertemu Tan Malaka

Disajikan oleh Erwin Jahja


Beberapa hari lalu aku menulis tentang Soekarno, bercerita tentang kisah Soekarno founding father negeri ini yang terlupakan karena kita terlalu sibuk membahas soal video-video mesum itu. Ternyata bukan hanya Soekarno yang terlupakan, seorang pahlawan besar Indonesia yang lahir pada bulan ini juga terlupakan. Dia Tan Malaka yang lahir pada 2 Juni 1897. Seharusnya sebelum tulisan tentang Soekarno itu kutulis, tulisan inilah yang ditulis lebih dulu. Tapi aku lupa, lupa jika Juni adalah bulan kelahirannya. Kalau saja malam tadi aku tidak bermimpi bertemu dengannya mungkin tulisan ini tak pernah ada. Bertemu dengan Tan Malaka, ya itulah.

Wajahnya penuh guratan-guratan usia, rambut berkilap licin disisir ke belakang, tingginya hanya sekitar 165cm, memakai kemeja tanpa motif, warna putih, sedikit kusam dengan celana pendek komprang. Dia memandangku dari ujung rambut hingga ujung kaki, dan tatapannya menusuk tiap jengkal kulitku yang dilalui matanya. Awalnya aku tidak yakin orang yang dihadapanku ini adalah Tan Malaka, lelaki dengan julukan yang menggetarkan itu, Bapak Republik Indonesia. Tapi guratan di samping bibirnya dan kantong mata tebal juga kening lebar itu meyakinkanku. Lebih-lebih hardikannya padaku menegaskan bahwa dia memang si penulis “Naar de Republiek Indonesia” itu.

“Hei anak muda, begitu angkuhnya kau menulis-nulis tentang sejarah. Tau apa kau tentang itu, sampai berani-beraninya kau menulis tentang kami, orang-orang masa lalu yang tak penting bagi kalian manusia modern. Sekarang pun aku yakin kau tidak tau dengan siapa kau bertatap mata ini. Maka aku teriakan ke telingamu yang penuh kotoran itu, aku ini Tan Malaka, Tan Malaka Bapak Republik Indonesia, akulah orangnya. Akulah orang pertama yang merumuskan tentang republik di negeri ini,” teriakannya menciutkan nyaliku. “Ya, akulah orang pertama sebelum Soekarno dan Hatta menyebut Republik Indonesia, simpan baik-baik di kepalamu yang otaknya sedikit itu,” ujarnya. “Aku tau bung, aku tau,” jawabku lirih.

“Angkat kepalamu anak muda, tatap aku !” kembali Sang Patjar Merah ini membentakku. Perlahan kuangkat kepalaku yang sedari tadi menunduk, berat rasanya mengangkat kepala dengan isi otak sedikit ini. “Lalu kalau kau tahu kenapa kau melupakan aku ? Kenapa cuma Soekarno yang kau tulis ? Apa kau pikir bulan Juni ini hanya milik Soekarno dengan Pancasilanya itu ?” Aku tak bisa menjawab pertanyaannya, itu kembali membuat dirinya mencecarku. Aku merasa berdosa, kenapa aku lupa tentang Bapak kita satu ini, mungkin karena sejarah sudah melupakannya. Dari masa Soeharto hingga kini tak ada pelajaran sekolah yang menuliskan namanya.

“Hei, aku tau kau pernah menulis tentang aku, menulis tentang Soekarno, tentang Hatta, tentang Syahrir, tapi seberapa banyak yang kau tau bung? Kalian manusia-manusia Indonesia yang merdeka, yang menikmati kemerdekaan sebebas-bebasnya, yang bisa menjual kekayaan negeri ini sebebas-bebasnya, yang sebebas-bebasnya menggadaikan negeri ini pada VOC-VOC baru bernama IMF, World Bank dan membiarkan company-company mereka menjarah kekayaan negerimu.”

“Lalu seenaknya orang-orang yang mengaku pemimpin mengatur negeri ini sesuai seleranya, tak punya ideologi, tak punya otak malah berani-beraninya jadi presiden, jadi menteri, jadi gubernur, jadi wakil rakyat. Pemimpin hanya membuncitkan perut, menyembunyikan kecurangan-kecurangan dengan berbagai cara, mengacaukan apa yang telah kami perjuangkan dulu. Sungguh aku mual melihat kelakuan kalian. Lihatlah hukum di negeri ini, aku tak tau ingin berkata apa, hukum kalian adalah uang dan kekuasaan. Apa kelakuan jaksa dan polisi di negeri ini sekarang, jika aku masih hidup tak seorang pun dari mereka akan berani menyebut namaku. Musnahlah para pelaknat-pelaknat negeri. Wahai, mau kalian apakan negeri ini, hah?” matanya mengeluarkan api.

Aku tak bisa menjawab kata-katanya, aku merasa sekujur tubuhku terbakar oleh tatapan matanya. Tapi aku paksa juga mulut ini untuk berkata, “Tapi kami sudah berdemokrasi dengan benar bung, kami melakukan pemilu, wakil-wakil kami sudah bebas bersuara di parlemen sana,” ujarku.

“Kau sebut ini demokrasi, kau sebut itu pemilu ?” Phuaah, dia meludah ke tanah. “Para pesolek yang berkampanye dengan mulut-mulut manis yang dengan tanpa dosa menghalalkan segala cara untuk terpilih kau sebut sebagai demokrasi ? Ketika terpilih, lantas kalian berlomba-lomba menipu rakyat, kemudian menyebut demi rakyat-demi rakyat tanpa malu, jika aku ada di dunia kalian saat ini kumusnahkan orang-orang ini. Aku tidak main-main anak muda, bahkan Belanda takut denganku, mereka menyebutku militan, radikal dan revolusioner. Kau tau Mao Tse Tung, Chiang kai Sek, Davidovich Trotski, Vladimir Lenin atau Josef Stalin? Bahkan mereka menganggapku berbahaya karena dapat merusak ide-ide mereka dan menggantikannya dengan ideku, kau tau itu anak muda? Mana mungkin kau tau, yang kau tau tentang aku paling-paling dari Wikipedia atau mesin-mesin pencari di internet kalian itu. Bacalah buku bung !”

Entah aku senang atau takut dengan pertemuan ini, yang pasti aku merasa sangat berdosa, berdosa telah melupakannya, berdosa karena dengan arogan menganggap bulan Juni ini hanya milik Soekarno. Padahal manusia satu ini adalah tokoh dunia, tokoh yang menjadi guru imajiner bagi Ho Chi Minh (bapak bangsa Vietnam), Aung San (ayah Aung San Syu Ki) dan bahkan Joseph Tito. Orang-orang besar itu mengakuinya, lalu mengapa kita lupa.

“Hei anak muda, aku tau yang kau pikirkan. Tapi aku lebih dari yang kau pikirkan bung ! Apa kau tau bahwa aku adalah Wakil Khusus Bidang Strategi Komintern untuk seluruh dunia, yang bahkan Mao Tse Tung, bapak Revolusi China itu pun tak pernah mendapatkan jabatan ini. Aku pantas sombong anak muda, apalagi jika kau bandingkan dengan orang-orang yang mengaku pemimpin di negerimu sekarang ini,” katanya.

Pagi menjelang, aku tersadar dari mimpiku. Mimpi bertemu dengan lelaki hebat dari masa lalu yang terlupakan. Lelaki yang disebut Soekarno sebagai pengganti “Dwitunggal Soekarno-Hatta” jika keduanya berhalangan melanjutkan revolusi. Lelaki penjelajah dunia. Maafkan aku Tan Malaka, ternyata bulan ini juga milikmu.

15 Juni 2010.

This entry was posted on Rabu, Juni 16, 2010 and is filed under .