109 Tahun, Melupakan Soekarno

Disajikan oleh Erwin Jahja


Hari ini agaknya lebih menarik bagi kita untuk menulis dan mengulas tentang Luna Maya dan Ariel Peterpan, entah itu membahas masa depan kedua artis itu setelah beredarnya video porno mirip mereka, ulasan asli tidaknya video itu hingga menghubung-hubungkan keduanya dengan kondisi politik dan sosial pada judul tulisan agar dikunjungi pembaca beramai-ramai. Sementara kemarin tanggal 6 Juni, hari kelahiran Bung Karno 109 tahun lalu agaknya sudah terlupakan. Separah inikah ingatan kita akan sejarah? Ataukah kita telah menafikan jasa-jasa Bung kita satu ini? Bung yang berperan sangat besar untuk kemerdekaan yang kita nikmati saat ini! Layakkah kita disebut sebagai bangsa yang besar, bangsa yang melupakan sejarah pahlawannya sendiri.

Soekarno, nama ini begitu berkibar di seantero dunia dan bahkan sampai saat ini sosoknya begitu banyak dibicarakan dunia, sampai-sampai jika ada tokoh yang berani menentang hegemoni barat (baca: Mahatir Muhammad) dia dijuluki Soekarno Kecil dari Timur. Dia dipuja, disanjung dan dikagumi di negara-negara ketiga. Anda dapat memastikan, di Asia, Afrika, Amerika Latin bahkan di Eropa Timur pun namanya berkibar dan harum. Banyak pemimpin-pemimpin negara Amerika Latin mengaku kebangkitan negara mereka terinspirasi oleh Soekarno. Percayalah, Erik Moralles, Hugo Chaves dan Lugo, Presiden Paraguay itu mengaku sebagai pengagum Bung Karno. Bagaimana bisa kita disini, pewaris langsung ajaran si Bung bisa melupakan dia. Maukah kita disebut sebagai bangsa yang durhaka, bangsa yang tak punya rasa atas perjuangan dia?

Ingatkah kita tentang Soekarno ketika mengulimatum PBB dan kemudian keluar dari Uni yang dibentuk oleh para pemenang perang dunia II itu. Ingatkah kita tentang gerakan negara-negara ketika dalam Konfrensi Asia-Afrika itu. Ingatkah kita ketika Soekarno menggagas lahirnya Ganefo sebagai tandingan Olimpiade buatan para kapitalis itu. Ingatkah kita ketika slogan “Go to hell with your aid” yang ditujukan pada Amerika itu bergaung di negeri ini. Tentu kita ingat, tapi kita tak akan berani melakukan itu, pemerintah dan kita tak akan berani. Ketika PBB diam saat para aktivis kemanusian dibantai Israel, beranikah kita mengultimatum PBB. Ketika negara-negara Ketiga dijadikan penggembira dan komoditas dagang dalam event-event olahraga gagasan kapitalis, beranikah kita membuat event negara-negara ketiga untuk tandingannya. Dan mungkinkah kita teriak “Go to hell with your aid” ketika hasil bumi kita dijarah, ketika militer kita ditekan dengan isu HAM, ketika ekonomi kita diatur sesuai keinginan kapitalis, beranikah kita?

Kita sudah lupa bagaimana caranya untuk kritis setelah dinina-bobokan oleh kenikmatan hedonis, jiwa konsumtif dan kebebasan ala barat hingga kita malu ketika harus mengaku sebagai anti kemapanan. Anti kemapanan bagi negara-negara maju pemberi hutang itu adalah kiamat, maka ideologi-ideologi seperti Soekarno harus dimusnahkan, dihilangkan dari kepala manusia Indonesia. Kita akan lebih tertarik membahas tentang Obama si anak Menteng ketimbang membicarakan tentang Hatta, Syahri, Tan Malaka.

Sineas film kita lebih bangga menjilat-jilat tamu agung itu dengan mempersembahkan film tentang dia, sementara tak satu pun sineas yang tertarik memfilmkan Soekarno-Hatta Sang Proklamator. Anak-anak SD akan lebih bangga bila sekolahnya dulu adalah bekas sekolah Obama, namun tak peduli dimana dulu sekolah Bung Karno dan Bung Hatta.

Stasiun televisi akan lebih tinggi ratingnya jika dapat mewawancarai Obama, dan akan lebih banyak mendapat iklan dengan menyuguhkan gosip-gosip murahan artis-artis karbitan. Sementara tak ada yang mengingat tentang 6 Juni kelahiran Soekarno. Tak ada yang mengingatkan kita tentang bagaimana rasanya dibuang ke Bengkulu, Boven Digul atau kemudian dipenjarakan di Sukamiskin.

Apakah ini anda pungkiri? Ini adalah kenyataan, kenyataan ini tak mungkin dipungkiri bukan? Tak miriskah kita mengingat ini semua. Kenapa kita melupakan Soekarno yang dengan keringat dan airmata mempersembahkan nikmat kemerdekaan hari ini. Tak banggakah kita ketika dia disanjung dan dijadikan simbol perjuangan oleh mereka yang menyuarakan perlawanan di belahan bumi selatan sana?

“Kami yang berdiam diri pada mas imperialisme, tidaklah berdiam diri sekarang. Kami yang berdiam diri akibat kesengsaraan karena imperialisme, tidaklah berdiam diri lagi. Perjuangan kami untuk hidup yang ditutupi jubah kolonialisme, sekarang tidak bersembunyi lagi.” (To Build The World Anew; Pidato Soekarno di PBB 30 September 1960)

Maafkan kami bung, di ulang tahunmu ke 109 ini, kami telah melupakanmu.

Jakarta, 7 Juni 2010.

This entry was posted on Senin, Juni 07, 2010 and is filed under .