Maaf dari Penguasa Panggung Sandiwara

Disajikan oleh Erwin Jahja

Kami datang dan meminta maaf, ini tak akan terjadi lagi. Semua kerugian ini akan ditanggung, biaya pengobatan dan biaya kerusakan, semuanya ditanggung, tidak usah khawatir. Kebijakan ini tidak akan dilaksanakan lagi. Begitulah ucap kalian penguasa panggung sandiwara, kalimat-kalimat indah itu datang setelah semua terlambat. Kemana kalian ketika mereka teriak-teriak hentikan, hentikan, jangan teruskan. Tapi seolah telinga dan mata kalian menjadi tuli dan buta. Rasa dalam hati membeku. Tak terdengar teriakan kami, tak peduli jerit mereka, yang pasti komando kalian menggelegar, lanjutkan, lanjutkan. Tapi akhirnya teriakan kalian berubah menjadi hentikan, hentikan setelah semua terlambat. Setelah kami kaum kecil ini saling pukul, saling hajar akibat ulah kalian penguasa panggung sandiwara. Tahukah engkau tentang hati ketika berhadapan dengan saudara sendiri, tahukah engkau bagaimana rasa itu ketika di satu sisi mempertahankan hak dan keyakinan, kemudian di sisi lain memperjuangkan tugas meski tidak tahu untuk kepentingan siapa perjuangan ini dilakukan.

Wahai tuan penguasa panggung sandiwara, andaikan kalimat indah kalian datang sebelum semua terlambat, tentu kalian akan disanjung setinggi keangkuhan yang kalian inginkan. Kalian tentunya berhak menjadi penguasa dalam alam mimpi dan sandiwara yang kalian bangun dari puing-puing airmata kami. Airmata yang masih sedikit tersisa yang jika kalian paksa kami menangis lagi, maka darah lah yang akan keluar dari mata ini. Cukuplah sudah kami mendonorkan airmata kami untuk seribu satu masalah negri ini, cukuplah kami berteriak-teriak ketika kalian mempertontonkan komedi, drama melankolis dan dongeng-dongeng antah berantah kepada kami, tuan.

Kami masih ingat tuan, kalimat indah kalian tak pernah terlambat bahkan datang lebih cepat dari yang kami harapkan ketika menabur benih-benih janji. Kalimat indah datang begitu cepat ketika kalian membutuhkan suara kami. Ketika kalian membutuhkan suara-suara kami yang kalian kumpulkan lewat janji, sumpah dan keanggunan seorang pemimpin. Pada masa itu kami dengan buaian janji-janji kalian secara sadar berbondong menuju bilik donor suara, kami berikan suara ini untuk kalian. Ambillah suara kami tuan, untuk suatu saat nanti akan kami tagih kembali. Oh tuan, ketika kami menagih kembali suara kami dengan kata, surat-surat indah hingga teriakan, kalian menghilang, moksa menuju khayangan hingga tak tersentuh oleh kami.

Kalian bagai dewa bertahta di khayangan tak tersentuh menjejak bumi, padahal kami ingin mengadu, menangis bahkan ingin mereguk hangatnya pelukan kalian. Kemana kalian penguasa panggung sandiwara, kenapa kalian tak lagi menjejakan kaki ke bumi untuk sekedar mendengar tangisan kami. Kalian datang lagi setelah tangisan kami berubah menjelma menjadi api.

Jakarta, 16 April 10

This entry was posted on Jumat, April 16, 2010 and is filed under , .