Apa Kabar Tentara..?

Disajikan oleh Erwin Jahja



12 Mei dua belas tahun lalu adalah tragedi Mei yang menjadi puncak kegeraman rakyat Indonesia pada dominasi militer selama 32 tahun yang identik sekali dengan rezim Soeharto. Tragedi ini selanjutnya menjadi amunisi untuk mengakhiri kekuasaan rezim Orde Baru, dan Soeharto pun jatuh. Kemudian euphoria reformasi membuat kita berbondong-bondong dengan latah menggugat dwifungsi ABRI dan menghujat tentara. Sesungguhnya kesalahan sistem selama lebih dari 3 dekade ini bukan semata tanggung jawab tentara, semua sistem termasuk birokrasi sipil mempunyai andil dan tanggungjawab atas kesalahan itu. Namun pada kenyataannya kita melihat kesalahan rezim hanya pada sisi yang identik dengan militer. Ini tidak dapat kita disalahkan, mengingat dominasi ABRI dengan dwifungsinya yang kebablasan membuat masyarakat sipil alergi dengan militer.

Pada detik-detik akhir kekuasaan Orde Baru dan awal Orde Reformasi semua yang berbau militer adalah keburukan. Lihatlah bagaimana Resimen Mahasiswa dihujat karena mengadopsi secara vulgar gaya militer sementara rekan-rekan mereka lainnya sedang bersemangat dengan kampanye anti dwifungsi ABRI. Demikian juga dengan sekolah-sekolah dan kampus-kampus kedinasan yang menggunakan gaya didik semi militer. Semua yang bertemakan militer adalah kekerasan, pelanggaran HAM dan tidak seharusnya diterapkan. Padahal seharusnya hal itu dikelola sebagai potensi untuk penerapan Sistem Pertahanan Rakyat Semesta, lihatlah betapa negara-negara maju itu masih menerapkan wajib militer bagi pemuda-pemudanya, jelas ini adalah potensi yang luar biasa besar bagi pertahanan negara. Tapi (sekali lagi) kita seperti alergi dengan militer. Kita menghujat militer seolah kita tidak membutuhkan mereka.

Hari ini kita telah melihat perubahan pada TNI menjadi luar biasa. Bagaimana mereka sudah menuju arah untuk menjadi tentara profesional seperti yang diinginkan pada awal reformasi. Tidak ada lagi fraksi ABRI di parlemen menunjukan bahwa mereka telah setuju merubah diri untuk tidak berpolitik praktis. Melepaskan Polisi dari tubuh mereka. Yang luar biasanya lagi adalah TNI secara otoritas politik mau berada di bawah Kementerian Pertahanan. Berbeda dengan Polisi yang tidak ingin berada dalam otoritas politik satu Kementerian dengan alasan klasik, jika berada di bawah Kementerian akan mempengaruhi independensi penegakan hukum.

Panglima TNI dan Kapolri memang statusnya sama, langsung berada di bawah Presiden, tapi untuk kebijakan perencanaan anggaran dan pengawasan, TNI tetap berada dalam kendali Kementerian Pertahanan. Bandingkan dengan Polri yang mempunyai otoritas pengelolaan anggaran sendiri. Mengingat TNI dan Polri keduanya mempunyai fungsi otoritas operasional, maka seharusnya Polri mengikuti jejak saudara tuanya yang legowo berada dalam otoritas politik sebuah Kementerian.

Slogan menjunjung supremasi sipil sehingga melupakan militer adalah kesalahan terbesar. Pemikiran yang menyatakan militer dan demokrasi tidak dapat disatukan adalah pemikiran yang aneh, pemikiran seperti itu membawa kita semakin tidak memahami fungsi militer. Kita membutuhkan tentara yang kuat untuk menjaga kedaulatan republik ini, kita membutuhkan mereka untuk mengawal demokrasi. Apalagi dalam kondisi demokrasi yang aneh seperti saat ini, dimana kepentingan golongan, penguasa plus pengusaha berada di atas kepentingan masyarakat. Pada titik seperti ini peran militer yang kuat sangat dibutuhkan untuk menjaga demokrasi sementara para elit itu saling berebut kepentingan.

Kita juga membutuhkan tentara yang kuat agar diplomasi luar negri kita diperhitungkan. Jika tentara kita hanya mempunyai alutsista “jadul” bagaimana bisa menjaga wilayah-wilayah perbatasan yang sangat rentan itu. Lihatlah kasus Sipadan - Ligitan, kalau tentara kita kuat, tentunya dalam diplomasi itu kita akan mempunyai nilai tawar yang tinggi. Jika jalur diplomasi dead lock, Malaysia tentu akan berpikir ratusan kali untuk tetap ngotot mengklaim Sipadan - Ligitan karena jalan terakhir dari diplomasi tentunya gelar pasukan perang. Akhirnya dengan kekuatan tentara yang pas-pasan (dan ini pastinya diketahui Malaysia) terpaksa kita KO dalam perundingan. Lihat juga Ambalat, bagaimana tetangga ini dengan gagah berani bermanuver di perairan kita, apa sebab? Tentu mereka telah memperhitungkan kekuatan kita.

Kita tentu tidak ingin kekuatan pertahanan negeri ini yang menjadi tanggungjawab TNI secara sistemik dan perlahan digerogoti oleh negara-negara yang tidak ingin kita menjadi besar. Berbagai isu pelanggaran HAM dihembuskan terus menerus oleh NGO-NGO di luar sana, ingatlah betapa ketika Obama akan datang kesini mereka getol menolak dan menyebut Indonesia sebagai negara pelanggar HAM berat. Ingat juga tentang film Balibo Five. Siapa lagi sasarannya kalau bukan TNI. Sangat meyakinkan bahwa militer negeri ini tidak boleh menjadi kuat mengingat posisi Indonesia yang sangat strategis di Asia Pacifik. Juga bagaimana dengan kampanye perang melawan terorisme, kenapa mereka tidak bekerjasama dengan Kopassus yang notabene sangat berpengalaman dibidang ini, bahkan dulu ketika peristiwa Woyla disebut-sebut sebagai salah satu pasukan anti-terror terbaik di muka bumi. Kenapa mereka harus membentuk Densus 88? Apakah ingin mengecilkan kekuatan militer kita? Siapa yang paling berkepentingan melemahkan milititer kita. Silahkan kita menjawab dengan analisis dan improvisasi sendiri.

Sungguh, untuk membesarkan tentara memang harus kembali terpulang kepada kita, kepada pemerintah Republik Indonesia tercinta ini. Bukan berharap belas kasih dari bantuan-bantuan negara adikuasa. Tentunya kita tidak ingin berhutang budi pada mereka bukan.

Memang Pemerintah sudah memberikan anggaran untuk militer tahun ini sekira Rp.40 triliun lebih tapi itu harus dibagi untuk tiga angkatan, bandingkan lagi dengan polisi yang mendapat Rp.25 triliun lebih untuk dirinya sendiri. Idealnya, militer kita minimal mendapat Rp.100 triliun untuk membangun tentara profesional dengan alutsista standar. Memang kita selalu bilang keterbatasan anggaran, prioritas pembangunan infrastruktur dan alasan-alasan lain menjadi pembenaran. Bukankah TNI juga telah melepaskan aset-aset bisnisnya untuk dikelola oleh negara, seharusnya itu diikuti dengan peningkatan perhatian pemerintah untuk memberikan anggaran secara signifikan pada TNI. Membangun kekuatan militer adalah poin utama yang sejajar dengan prioritas mensejahterakan rakyat.

Ya, kita tahu bahwa keinginan yang ideal selalu berbeda dengan kondisi yang ada. Menjadi perih ketika mengingat tentang para prajurit di perbatasan yang untuk mencari air bersih saja harus berjuang keras sementara Gayus si pegawai pajak mendapat remunerasi padahal institusinya sendiri di “lahan basah” yang sangat rentan.

Jakarta, 12 Mei 10

This entry was posted on Senin, Mei 17, 2010 and is filed under .