Demokrasi Barbar

Disajikan oleh Erwin Jahja

Buas dan beringas, hanya dua kata itu yang bisa diungkapkan melihat keganasan demonstrasi massa pro pemekaran Propinsi Tapanuli ketika berdemonstrasi di Gedung DPRD Sumut hari selasa (3/2/09) kemarin. Seolah-olah keberingasan dan anarkisme menjadi suatu keniscayaan yang harus terjadi jika kehendak tidak diikuti. Ujung dari aksi massa ini kembali mencoreng muka Bangsa Indonesia di dunia internasional, pasalnya masyarakat di negara yang terkenal santun ini kembali membuat catatan buruk dalam pembelajaran berdemokrasi. Seorang Ketua Parlemen tingkat provinsi menghembuskan nafas terakhir akibat aksi anaskis yang dilakukan massa pro pemekaran Propinsi Tapanuli ini. Secara langsung, masyarakat dunia dapat melihat bagai mana seorang Ketua Dewan yang terhormat ini ditarik-tarik dan dipukuli massa. Massa yang beringas merangsek mengejar sang Ketua. Kita dapat melihat, bahwa polisi tidak dapat berbuat banyak ketika ribuan massa demonstrasi kehilangan kendali, menghajar dan merusak apa saja yang ada di depan mereka.

Alasan tidak diakomodirnya keinginan pemekaran propinsi baru ini oleh DPRD Sumut, tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan aksi anarkis, apalagi menimbulkan korban jiwa. Meskipun Mabes Polri menyatakan bahwa Ketua DPRD Sumut Abdul Aziz Angkat meninggal diakibatkan serangan jantung bukan pemukulan, namun semua mengetahui bahwa pemicu serangan jantung tersebut adalah demo anarkis itu.

Alasan apa yang harus diberikan pemerintah ketika dunia internasional bertanya, bagaimana seorang pemimpin rakyat di negara demokratis bisa tewas ditangan rakyat yang dipimpinnya ?

Kita memang masih belajar menuju demokrasi, tapi demokrasi tidak mengenal kekerasan, demokrasi tidak menghalalkan segala cara ketika keinginan tidak terakomodir. Pembelajaran menuju demokrasi yang terkesan premature ini seharusnya dapat kita kawal bersama. Kita tidak ingin Negara ini terpecah akibat nafsu “birahi” pemekaran wilayah yang menurut hemat kami adalah suatu kemunduran. Keinginan segelintir elit yang tidak mendapat kekuasaan dalam suatu kesatuan kabupaten ataupun propinsi. Kemudian menjadi pertanyaan disini, apakah setelah adanya pemekaran-pemekaran wilayah ini akan dapat menjamin kemaslahatan masyarakat di daerah itu. Dapat menjamin pembangunan SDM, infrastruktur, dan ekonomi masyarakat akan lebih baik.

Ataukah hanya akan menguntungkan elit-elit yang bakal memimpin daerah tersebut ?

Mungkin saja nantinya akan ada aspirasi lebih besar dari masyarakat yang tidak puas akan NKRI untuk memecah Negara ini menjadi dua bagian dengan alasan satu orang Presiden tidak cukup maksimal memimpin Negara yang sangat besar ini. Apakah hal ini yang kita inginkan ?

Saat ini, Negara seperti kehilangan kontrol untuk mengakomodir semua keinginan-keinginan rakyat. Sehingga demokrasi di Indonesia terkesan serba boleh dan serba halal. Padahal semestinya demokrasi harus tetap dalam koridor menjunjung norma-norma kesantunan.

This entry was posted on Rabu, Februari 04, 2009 and is filed under , .